Di Diaryku
Oleh : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id
Saat kau memilih untuk mengakhiri semuanya, tahukah kau betapa pedihnya hatiku? Saat kau memutuskan untuk kita saling jalan masing-masing, mengertikah kau betapa kecewanya aku? Sungguh! Ini terlalu berat bagiku kasih.
Selama ini yang ku tahu kau selalu ada untukku, kau selalu memberiku motivasi, menghapus setiap tetes airmata yang kerapkali terjatuh dari pelupuk mataku. Tapi hari ini yang kusaksikan, hari ini yang kusadari bahwa kau tak lagi disini. Semua antara kita telah berakhir setahun yang lalu. Mungkin kau pernah mengira bahwa aku telah lupa semuanya, tetapi tidak! Kau dan segala tentang kita tetap ada diingatanku, meski waktu memilihkan jalan bagi kita untuk menempuh hidup pada jalurnya masing-masing.
Masih terlalu nyata diingatanku saat kau menjadikanku ratu dihatimu. Saat kau genggam erat jemariku, saat kau menjagaku hingga aku bosan.
Yach, aku yang dulunya pernah mengira bahwa semua yang kau lakukan terlalu berlebihan, terlalu overprotective, tapi hari ini aku sadar bahwa semua karena kau sangat menyayangiku. Mungkin dulu aku buta – tak bisa melihat arti cinta yang kau isyaratkan, mungkin dulu aku tuli – tak mendengar deru ketulusan dihatimu. Yach, kini aku mengerti semua itu.
**
Waktu memang tidak akan kembali lagi, walau sedetik pun. Tapi ijinkan aku mengenang semua yang pernah ada antara kita. Biarkan aku meneteskan kembali airmataku, meski tak akan pernah ada lagi jemarimu yang kelak akan menghapusnya.
Senja mulai melukiskan warna-warni di aksara langit sebelah barat. Ada warna merah disana, pertanda petang segera menjelang. Sambil membiarkan angin sore menyapaku ramah, kualunkan kanvasku dan kubiarkan kuasku melukiskan coretan-coretan menyerupai wajahmu.
Aku yang telah memilih untuk melanjutkan study di kota ini. Aku yang telah memilih untuk meninggalkan cintaku ditanah seberang. Dan kini aku pulalah yang harus menerima kenyataan bahwa kau bukan milikku lagi seperti dulu – seperti waktu itu. Entah kapan kau akan bersedia menjemputku distasiun lagi seperti waktu itu – disaat kita masih pacaran. Entah kapan lagi kau akan menemani kesunyianku lewat dering via telphon, entah kapan lagi sms mu akan mengisi inbox ku. Akh! Kurasa aku hanya bermimpi! Karena kini aku bukan gadis mungilmu lagi.
“Wajah itu adalah wajah yang pernah kamu lihat di dompetku dulu”. Jawabku singkat sambil terus memberikan efek warna abu-abu pada lukisanku. Toni tak berkomentar, tapi aku yakin dia bukan seorang yang amnesia, aku yakin dia hanya pura-pura pikun.
“Masih mencintainya?” Tanya Toni tiba-tiba. Seketika mataku langsung melotot memandangnya.
“Bisa aja kamu Ton”. Kilahku.
Toni pun duduk disebelahku. Dipandanginya setiap gerak tanganku yang menempel pada kanvas tersebut layaknya seorang komentator.
“Re, nanti malam kita hangout yuk bareng teman-teman yang lainnya”. Ucap Toni. Aku mengangguk tanda setuju.
“Nanti malam ada taruhan ya?” Tanyaku.
“Ya, kita main sama genk kobra dan naga”. Jawab Toni.
“Oke”.
Begitu langit telah melukiskan warna kelabu disenjanya malam, aku dan Toni pun bersiap-siap menuju arena perkumpulan seperti biasanya. Begitu kami sampai, ternyata disana telah berkumpul segerombolan remaja seusia kami. Aku langsung menyapa mereka ramah. Semuanya laki-laki, terkecuali aku.
“Aku Reza” ucapnya
“Rere”. Jawabku
“Ya, aku sudah tahu. Toni banyak cerita tentang kamu”.
“Toni?” Seruku pelan seraya mengerutkan dahi. Dia mengangguk.
“Toni bilang kamu adalah pelukis yang hebat”. Ujarnya. “Dan dia juga bilang kamu adalah pembalap yang handal”. Sambungnya. Aku tertawa geli mendengar semua deskribsinya tentangku.
Aku dan teman-teman yang lainnya duduk-duduk di café Putri sambil menikmati hidangan makan malam bersama. Suasana yang hangat! Yang sangat kurindukan. Yach, sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini, apalagi disaat kami saling sibuk dengan rutinitas perkuliahan yang tak menentu, yang banyak menyita waktu.
Iringan music pop dan serunai biola yang dimainkan oleh kru café membuat suasana malm di café ini semakin lembut, nyaris tak sadar bahwa jarum jam telah menunjukkan angka pukul setengah sebelas malam.
Usai melunasi administrasi pembayaran, kami pun langsung bersiap-siap menuju aren atempat biasanya kami melakukan balap liar.
**
Toni menghampiriku, dirangkulnya bahuku sambil menyandarkan kepalanya dikepalaku – seperti biasanya.
“Kamu kenapa Re?” Tanyanya padaku. Aku tesenyum tipis, lalu menggeleng.
“Kamu ragu-ragu untuk pertandingan ini?” Tanyanya.
“Tidak”
“Lalu?”
“Aku merindukan Heru”. Jawabku malu-malu, lalu beranjak dari dudukku. “Udahlah, mungkin karena sudah lama tidak ketemu saja. Yuk kita mulai balapan, sudah pukul dua belas”. Ucapku. Tanpa berkata paapun lagi, Toni langsung berdiri dan membarengi langkahku.
**
Tepat digaris start kami pun telah siap untuk melakukan balapan ini. Udara malam yang semakin dingin seakan tak lagi terasa karena tubuh kami dibalut oleh jacket kulit yang super tebal.
“Kamu yakin kan Re?” Tanya Toni memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku mengangguk.
“Kamu gak usah takut, aku baik-baik saja”. Jawabku
“Re, hati-hati”. Tambah Reza yang tepat berada disisi kiriku. Aku mengangguk.
Aku dan teman-teman menikmati suasana ini – sangat menikamti malahan! Malam yang indah walau tanpa harus kami lalui dengan orang-orang tercinta, karena toh ternyata kami adalah jomblo-jomblo yang belum memiliki pasangan alias pacar.
**
Tepat di garis finish aku meng-rem sepeda motorku., lalu kemudian Toni dan Reza pun menyusul dibelakangku, diikuti dengan teman-teman yang lainnya.
“Kamu hebat Re!”. Ungkap Toni bangga. Aku tersenyum.
“Aku tidak menyangka ternyata kamu lebih hebat dari apa yang kubayangkan!”. Tambah eza.
“Terima kasih”. Jawabku.
“Tidak”. Jawabku seraya menggelengkan kepala.
“Kamu sakit itu Re”. tambah Reza seraya merangkulkan tangannya dipundakku dan mengajakku duduk disebuah kursi kayu yang tidak jauh dari tempat kami memarkirkan sepeda motor.
“Minum dulu Re”.ucap Toni sambil menyodorkanku sebotol aqua. Aku langsung meminumnya. Sementara Reza membersihkan darah yang keluar dari hidungku.
“Terima kasih”. Ucapku setelah Reza selesai membersihkan hidungku yang berdarah dengan scraft nya.
“Aku antar kamu pulang Re, Yuk” Ajak Toni sambil menuntunku hingga kesepeda motornya.
“Ton, aku tidak kuat lagi”. Ucapku pada Toni, sahabatku itu. Belum lagi Toni sempat berkata apa-apa, tiba-tiba saja aku langsung jatuh pingsan. Semuanya panic.
Entah apa yang selanjutnya terjadi semalam, yang jelas ketika aku terbangun dari ketidaksadaranku, aku sudah berada di rumah sakit. Tali-tali infuse menusuk lenganku. Dan disaat aku terbangun tak ada seorang pun disini, hanya setangkai mawar putih yang tergeletak diatas meja, disamping segelas air putih dan obat-obatan. Aku mengambilnya, lalu membaca sebuah surat yang berada tepat disebelahnya.
Jika malam telah larut dan kesunyian memaksaku untuk merindukanmu, ijinkan kulukiskan bayanganmu dimimpi-mimpiku. Jika senja kelak berlalu, ijinkan ukir namamu dihatiku, agar jika langit kelam, kau tetap ada bersamaku.
Tapi jika nanti kau lelah, ingatlah ada aku yang bersedia menantimu disini.
*Toni.
**
Usai membaca surat singkat itu, aku langsung mengambil hape-ku dan menekan serangkaian angka-angka yang ada di keypadnya.
“Iya, Re?” Sapa Toni dari seberang sana.
“Toni, kamu kasih aku mawar putih ya?” Tanyaku. Lama Toni tak menjawab pertanyaanku, sampai aku menanyakan kembali pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.
“Maafkan aku Re, aku……..” Ucap Toni putus-putus.
“Terima kasih ya Ton”. Potongku.
“Kamu marah Re?” Tanya nya.
“Aku marah, jika kamu tidak ada disini menemani aku”. Jawabku
“Oke, aku kesana sekarang ya?”
“Ton, aku tidak kuat lagi menjalani kehidupanku”. Ucapku
“Re, demi orang-orang yang saying sama kamu, demi orang-orang yang kamu sayangi, bertahanlah”. Pintanya.
Aku menyodorkan sebuah diary berwarna hijau muda pada Toni. Toni mengambilnya dari tanganku. Lalu, sejenak setelah itu akupun menghembuskan nafas terakhirku.
“Kenapa kamu harus pergi Re? padahal aku sangat menyayangimu”. Ucapnya setelah menyadari bahwa tubuh kaku yang ada dihadapannya itu tak lagi aku – melainkan seonggok mayat beku yang tak lagi bisa berkata-kata, yang tak lagi bernyawa. Lalu sejenak kemudian setelah itu dibukanya diaryku, tepat dihalaman terakhir.
Jika Heru tak lagi milikku, ijinkan aku mengubur semua kenangan tentangnya dalam-dalam dihatiku, agar rasa pedih itu tak lagi terasa olehku. Dan jika boleh cinta itu datang lagi, aku ingin Toni yang menggantikannya. Walau ku tahu itu tak mungkin.
**
Itulah halaman terakhir dari diaryku. Meski tak sempat terucap oleh bibirku bahwa aku juga mencintainya, tapi kuharap tulisan yang lama kugoreskan itu akan dapat memberitahu pada Toni bahwa selama ini akupun menyimpan perasaan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar