Oleh : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id
Sesekali aku masih berharap dia datang lagi dan menemaniku seperti malam itu. Yach, sesekali! Bahkan nyaris tiap hari aku berkeinginan seperti itu. Inilah hal yang paling kutakutkan dalam hidupku, saat aku mulai mencintai seseorang, saat aku mulai menitipkan hatiku padanya, dia justru pergi meninggalkanku. Ini bukan yang pertama – tapi aku selalu berharap inilah yang terakhir.
Lelaki itu – lelaki yang pernah menemani hari-hariku yang menjemukan, dia yang pernah memotivasiku untuk bangkit disaat aku terjatuh, dan dia yang namanya pernah kulukis dihatiku itu kini telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
Kecelakaan itu telah merebut nyawanya – nyawa orang yang sangat kusayangi. Dia pergi berlumur darah, pergi dengan isak tangisku yang mengaung tak rela saat desah nafas terakhirnya masih tercium hangat disisa-sia rintih sakit yang berusaha ia tahan.
Aku masih sempat melihatnya tersenyum meski itu untuk yang terakhir kalinya. Akupun masih sempat merasakan lembut belaian tangannya mengelus rambutku – walau sentuhan itu nyaris tak berdaya.
“Kamu harus tetap tersenyum meski aku tak ada lagi bersamamu nanti” Itulah kata-katanya yang masih sempat kudengar siang itu – sebelum dia menghembuskan nafas terakhir kalinya. Aku menggeleng pelan, menahan perih yang berkeping-keping di ulu hatiku. Satu persatu nafasku terengah dan luluh mulai menetes dipermukaan pipiku. Aku masih sempat merasakan dia menghapus titik-titik luluh itu terakhir kalinya.
“Apapun alasannya, aku ingin kamu tetap ada bersamaku”. Rintihku saat itu, saat matanya hampir terkatup dan desah nafasnya semakin melemah.
“Aku akan bertahan semampuku” Ucapnya terbata. Saat itu aku tidak melihat kekuatannya untuk bertahan lagi. Dua bola matanya mulai terkatup rapat dan desah nafasnya lembut membius untuk terakhir kalinya. Dia pergi. Aku menangis dalam diam – nyaris tak ada suara. Aku tak bisa berkata-kata, selain membiarkan dua tanganku tetap memeluk tubuh kakunya yang tak lagi bernyawa itu.
**
Sejak saat itu aku menutup diri untuk cinta. Setiapkali aku melintasi jalanan ini ingatanku masih lekat pada peristiwa waktu itu. Sebuah peristiwa yang membiarkan nyawa kekasihku hilang begitu saja.
Aku benci dengan balapan! Yach, aku benci balapan dan semua yang ada hubungannya dengan balapan. Kalian mau tahu kenapa? Karena kekasihku pergi dan tak akan pernah kembali lagi saat salah seorang pesaingnya dengan sengaja menyerempet sepeda motornya hingga dia terpelanting membentur jalanan aspal yang kering.
**
Tapi semua rasa traumaku tentang kehilangan nyaris usang seiring waktu saat aku bertemu dengan sosok pria yang tampil tenang, yang dari bibirnya aku tak pernah menemukan kata-kata kotor, yang dari matanya aku tak pernah melihatnya berkeliaran. Setidaknya disaat dia bersamaku. Namanya Ricky – seorang Mahasiswa jurusan manajemen informatika disalah satu perguruan tinggi swasta. Dia teman sekelasku.
Awalnya semua biasa saja, tidak ada yang menarik dari Ricky selain aku tertarik padanya sebagai seorang sahabat. Dan semua berangsur berubah saat Ricky memintaku untuk menjadi kekasihnya.
**
Akan kukatakan pada kalian tentang rasa takut itu yang kini mulai hadir lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengubur ketakutan ini, bahkan aku sendiri pun tak pernah tahu mengapa rasa takut ini selalu menghantuiku. Aku telah berhasil mengubur rasa takutku selama setahun lebih. Tapi hari ini, disaat usia pacaran kami hampir genap setahun enam bulan, aku mulai dihantui ketakutan yang sama. Aku mulai takut kehilangan dia!
Sungguh!
Setiapkali senja tiba dan warna merah mulai berayun-ayun dibelahan langit sebelah barat, aku selalu berdo’a agar aku tidak benar-benar mencintai Ricky. Aku kerapkali berdoa semoga perasaan ini tak lebih dari rasa sayang seorang sahabat. Tapi sepertinya aku salah, aku mulai menaruh hati padanya. Aku mulai mencintai dia disaat aku tahu bahwa aku akan pergi.
Jika harus ada yang boleh kukatakan saat ini, aku hanya ingin dia tahu bagaimana aku berusaha untuk tetap bertahan demi dia. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, dan aku pun tahu pedihnya luka karena ditinggalkan. Untuk itulah aku ingin tetap ada bersama dia.
**
Aku penderita Leokimia Kronis. Yach, itulah alasan mengapa aku takut kehilangan dia. Tuhan telah menitipkan hatiku untuk dia, Tuhan telah membiarkan aku menjalani kehidupan bersama dia, dan hari ini aku tak bisa lagi memungkiri bahwa benih-benih cinta itu telah mekar.
**
Ini adalah hari yang paling kutakutkan. Hari yang memaksaku untuk terbaring kembali di pembaringan rumah sakit dan membiarkan jarum-jarum infuse menjerat hampir seluruh tubuhku hingga membiarkanku berusaha menahan rasa sakit yang teramat nyeri.
“Maafkan Rara” Ucapku saat Ricky datang membesuk. Dia menggeleng, lalu dari bibirnya aku melihat sebuah senyuman. Digenggamnya jemariku erat, kemudian dia menempelkannya didadanya. Aku merasakan ada detak yang tak beraturan disana.
“Aku mencintaimu apa adanya”. Ucapnya begitu tulus. Aku bisa merasakan bahwa kata-kata itu benar-benar tulus. Sebuah kerlingan bercak luluh singgah dikorneanya. Lalu dia mencium keningku. Hangat!
“Aku mencintaimu”. Balasku.
Aku tidak tahu pasti apakah aku akan sembuh dari penyakit ini. Yang ku tahu aku ingin tetap bertahan demi orang-orang yang kusayangi dan demi orang-orang yang menyayangiku.
**
“Inilah cinta, yang darinya kamu menemukan kekuatan meski sebenarnya kamu tahu kamu tidak akan mampu bertahan. Dan inilah cinta, yang darinya kamu melihat kehidupan meski kematian kerapkali membayangimu”. Itu adalah sepenggal syair yang pernah kutuliskan di diaryku saat aku mulai menyadari bahwa aku mencintai Ricky.
*end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar