Oleh : Erny Wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id
Jika aku kerapkali membiarkan jari-jariku menari diatas keyboard komputerku, wanita itu justru membiarkan jemarinya menari diatas kanvas. Setiap garis ia hubungkan hingga membentuk sesuatu yang kadangkala nyaris aku sendiri pun tak tahu apa itu. Dia bagai orang bisu yang tak bisa berkata-kata. Setiapkali aku bertanya sesuatu, dia hanya memainkan dua bola matanya sebagai isyarat, atau kadang-kadang dia hanya sekedar mengangguk atau menggeleng pelan.
Matahari belum sempurna betul memancarkan sinar terangnya. Cahayanya masih mengintip dari balik dedaunan muda yang sesekali terhempas angin. Sejak pagi tadi, saat mentari masih teronggok bisu membiuskan fajar kebumi, wanita berambut pirang dan bermata cokelat itu telah duduk manis dihadapan kanvasnya. Sesekali ia torehkan warna hitam, merah, biru, dan entah apalagi. Aku memperhatikannya dari jauh. Sangat jauh!
Entah apa yang pernah terjadi dimasalalunya, hingga dua bola matanya selalu tergenang butiran salju yang hampir tumpah. Aku yakin wanita itu tidak bisu, karena waktu itu aku sempat mendengar dia bicara pada seseorang dibalik telphon selulernya. Tapi aku sungguh tak mengerti mengapa dia enggan berbagi kisah denganku? Yach, aku memang tidak mengenal dia, tapi tetap saja aku sangat bahagia jika dia mau berbagi kisah. Entahlah.
**
Seakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang terlihat asing dimataku. Sosok bermata cokelat yang biasanya terpaku dalam diam disudut kursi taman itu, kini nyaris tak tampak, padahal matahari sudah terlalu tinggi dipermukaan langit. Cahayanya pun terbias pada rinai garis-garis awan yang terlihat seolah kelabu.
Kulangkahkan kakiku kearah tempat wanita bermata cokelat itu biasa menjalani rutinitasnya. Disana aku melihat ada sisa-sisa warna cat yang masih tertinggal diatas batu besar tempat biasa ia duduk. Aku berharap hari ini wanita itu datang dengan membawa seutas senyuman dan mau membuka diri untuk berbicara denganku. Sungguh! Aku penasaran siapa dia sebenarnya.
“Maaf, anda siapa?” Tiba-tiba suara itu menghamburkan lamunanku. Kuarahkan pandangan menuju suara tersebut. Dan sesosok wanita misterius itu berdiri tepat dibelakangku. Lengan sebelah kirinya mengapit lukisan-lukisan yang hampir jadi, tapi tak seutuhnya jadi, sedangkan kedua tangannya memegang peralatan lukis. Aku berdiri dari dudukku, lalu kusapa dia ramah.
“Maaf, aku Reza”. Ucapku sambil mengulurkan tangan. Wanita itu lalu meletakkan peralatan lukisnya diatas sebuah meja kecil, dan disambutnya uluran tanganku.
“Arini”. Jawabnya datar.
Oh,tuhan tangannya begitu lembut. Saat dia membalas uluan tanganku, aku bisa merasakan betapa dinginnya jemari itu. Sangat dingin! Dan ketika itu aku bisa melihat dengan jelas betapa indahnya dia. Tubuh jangkungnya yang putih dengan mata belo’ dan rambut pirang sebahu, sempurnalah ia bagai seorang bidadari. Aku belum pernah menemui seorang wanita secantik dia.
Aku dan wanita itu lalu brbincang-bincang. Meski sebelumnya beberapa pertanyaanku sempat tak dijawabnya.
“Lukisan kamu bagus. Warnanya hidup. Mengapa tak dijual saja?” Tanyaku membuka obrolan.
“Lukisan ini akan kujual”. Ucapnya tanpa mimik.
“Kalau boleh tahu siapa sosok lelaki dalam lukisan itu?” Tanyaku hati-hati, takut membuatnya tersinggung. Sejenak dia menatap mataku tajam, tanpa senyum. Tanpa kata-kata pula.
“Maaf kalau pertanyaan itu membuatmu tersinggung. Aku tidak bermaksud…”
“Tidak apa-apa”. Ucapnya sebelum aku sempat meneruskan kata-kataku. Lalu kemudian suasana hening lagi.
**
Hampir seminggu perempuan itu tak lagi pernah tampak berada ditaman kota. Aku kehilangan dia, sama kehilangannya saat dia telat datang tempo hari. Bahkan ini jauh lebih kehilangan!
Ada rindu yang diam-diam mencuri hatiku. Ada rindu yang pelan-pelan membelaiku lewat sapaan angin yang ramah. Aku mencoba membaca warna rindu itu, rindu yang sebelumnya tak pernah ada. Dan hari ini warna rindu itu semakin jelas, mengubun diurat nadiku.
Aku mencari sosok itu, mencarinya tanpa identitas yang kukenal. Setiap orang yang kutemui ditaman ini selalu kutanyai tentangnya. Tapi tak satu pun yang tahu. Semuanya menggeleng, tak ada satu pun yang tahu dimana dia. Dan anehnya lagi, tak pula ada yang tahu sosok pelukis itu ditaman ini.
“Maaf pak, numpang tanya”. Ucapku pada salah seorang bapak yang lewat tepat diseonggok batu besar tempat wanita itu biasa meopangkan waktunya.
“Ya”
“Bapak tahu tidak wanita yang biasanya melukis dibatu besar ini?” Tanyaku sopan. Matanya sempat mengingat-ingat, dan keningnya mengernyit, lalu cepat-cepat dia menggeleng dan kemudian pergi meninggalkanku tanpa kata-kata. Begitulah kerapkali yang terjadi saat aku menanyakan tentang sosok pelukis itu.
“Kenapa tidak ada yang tahu?”. Gumamku dalam hati. Aku sudah kehilangan sosok itu lebih dari dua minggu, dan setiap orang yang kutanyai tak satupun yang tahu. Kalau pun ada, hanya beberapa yang sempat mengernyitkan dahinya. Tapi tak mengatakan apa-apa. Seolah sesuatu pernah terjadi disini. Entahlah.
**
Gulungan ombak menyapaku ramah. Sesekali dihempasnya kakiku. Riakannya seolah membuat damai itu bersenandung dikedalaman hatiku. Kubiarkan mataku memandang jauh kedepan dengan tatapan kosong. Sambil menikmati pagi yang masih sangat asri.
Sesosok wanita baru saja melintas didepanku. Aku cepat-cepat menolehkan pandangan kearahnya. Sosok itu belum jauh.
“Arini!” Panggilku. Sosok itu berhenti, tanpa membalikkan tubuhnya kearahku. Aku cepat-cepat berlari mendekatinya. Ada senyuman mungil dibibir tipisnya yang dipolesi lipstick merah jambu itu. Senyuman bidadari bila aku menyebutnya.
“Arini, kamu kemana saja? Aku selalu menunggumu ditaman, tapi kamu tak pernah datang lagi. Apa khabar?” Tanyaku bertubi-tubi, seolah ingin melepaskan rindu yang lama menggores hati. Dia diam saja, lalu tangan kanannya mengulurkan sebuah bingkisan berukuran sedang padaku. Aku yakin itu adalah lukisan, namun aku tak tahu pasti lukisan siapa yang diberikannya padaku. Apakah mungkin itu gambarku? Entahlah.
Kugenggam jemari itu, dan rasa dingin seperti waktu pertamakali aku menggenggam jemarinya masih sangat terasa. Bagai kepingan es yang seolah mencair. Dia mengerlipkan mata cokelatnya, lalu ada setetes luluh yang singgah dipipinya. Tubuh itu terlihat lemah apalagi saat ia meneteskan airmatanya.
“Aku harus pergi”. Ucapnya saat ombak bergulung semakin deras, menghentakkan desir yang bergemuruh didadaku. Aku mengangguk pelan, nyaris tak terlihat.
“Aku mencintaimu” Ucapku saat aku masih sempat melihat mata indah itu. Lalu dia menempelkan jari telunjuknya dibibirku.
“Aku tak pantas untuk kau cintai”. Ucapnya datar.
Saat aku ingin menanyakan mengapa, dia lebih dulu meninggalkanku pada sekeping sunyi yang mungkin akan menemani hari-hariku sejak ia pergi nanti.
**
Langit kelam, hanya kerlip bintang-bintang senja yang jumlahnya masih bisa dihitung jarilah yang seolah memberi warna. Tak ada purnama malam ini, tak juga ada gerimis. Malam ini datar saja, seperti tak berirama. Sajak-sajaknya sumbang, namun tetap kunikmati. Aku baru saja membuka bingkisan yang diberikan Arini tadi siang, dan alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok itu – sosok yang ada dilukisan itu bukan aku, melainkan sosok lelaki tua yang kulitnya hampir keriput dimakan usia. Yang dimatanya terlihat keletihan yang sangat.
‘Cari dan temukan dia jika kau ingin tahu siapa aku. Tanyakan padanya segalanya tentangku. Dan jika nanti kelak kau bertemu dengannya, tolong sampaikan rinduku padanya’.
Setelah membaca secarik surat yang sengaja ia selipkan itu, hatiku bertambah bingung. Serangkaian Tanya mulai bergeming ditelingaku. Memburu didadaku. Hingga aku berharap malam akan segera berlalu, agar aku bisa mencari sosok dalam lukisan itu.
**
Senja hampir terbenam, sekelompok bangau berarak kembali kesarangnya. Aku tak tahu lagi kemana harus mencari sosok dalam lukisan itu, seharian kuhabiskan waktu kesegala penjuru, tapi tak juga kutemukan sosok itu. Kusandarkan tubuhku pada setetes rinai hujan yang mulai meneteskan airmatanya. Aku berteduh dibawah pohon dipinggir jalan Subroto sambil terus mencari-cari sosok dalam lukisan itu.
Saat gerimis mulai reda, kulanjutkan perjalananku. Aku berhenti pada sebuah warung tenda yang menjual nasi dan lalapan. Kupesan satu porsi.
“Terima kasih pak”. Ucapku saat pejual itu meletakkan pesanan dimejaku. Dia mengangguk.
“Sama-sama, silahkan menikmati” Balasnya.
Aku menyantap hidangan yang baru disajikan itu dengan lahap. Satu porsi nasi, lalapan dan ikan bakar menggugah seleraku hingga dipuncak hasrat. Entah karena masakannya yang lezat atau mungkin pula karena rasa lapar yang tak lagi tertahan, yang jelas satu porsi yang kupesan kini tinggal piringnya saja yang tersisa.
“Berapa pak?” Tanyaku saat ingin membayar
“Rp.35000 saja” Jawabnya sambil menyodorkan bill alias catatan kecil tentang harga. Aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.
“Ini kembaliannya”. Ucap bapak itu sambil menyodorkan lembaran uang sepuluh dan lima ribu. Aku mengambilnya. Bapak itu pun kembali meninggalkanku. Tapi saat kakinya hendak berbalik arah, aku cepat-cepat memanggilnya kembali.
“Maaf sebentar pak”. Pintaku santun. Lelaki tua itu pun membalikkan arahnya lagi. Aku mencoba membaca garis-garis diwajahnya. Dan kuyakin aku tak salah lagi.
“Ada apa nak? Kembaliannya kurang ya?” Tanyanya seraya mengernyitkan dahi. Aku menggeleng, lalu kuperlihatkan lukisan yang sejak tadi berada dalam tas ranselku. Beliau memperhatikan lukisan itu dengan seksama. Lalu dari bibirnya sempat terucap kata “Arini”.
Berulangkali lelaki itu mengucek matanya yang memerah oleh bendungan luluh yang sengaja tak ingin ditumpahkannya, walaupun aku tahu ada sesuatu yang pernah terjadi dengan dirinya dan sipembuat lukisan itu.
“Darimana kamu mendapatkan lukisan ini?” Tanyanya sambil menyunggingkan senyuman yang teramat getir.
“Dari seorang wanita berparas bidadari yang pernah saya temui beberapa waktu lalu pak”. Jawabku tak menyebutkan nama gadis itu, kuharap ada sepenggal cerita yang bersedia ia bagi padaku tentang Arini, atau apapun yang ada kaitannya dengan Arini dan lukisan itu.
Dia meletakkan lukisan itu lagi kemeja. Lalu nafasnya mendesah pelan, sangat pelan. Ada kata-kata yang bergeming dikerongkongannya. Lelaki setengah baya yang kini duduk didepanku itu kini terpaku dalam kebisuan. Matanya semakin memerah oleh percikan luluh yang tumpah satu persatu dari bias pelupuk mata tuanya yang lelah. Desah nafasnya seolah mengisyaratkan rindu yang lama ia sembunyikan. Entah apa yang telah terjadi, entah apa pula yang nyaris membuatnya menjadi bisu.
“Saat matahari terbenam nanti, aku akan menemui bapak dipenghujung senja yang mungkin tak terlihat oleh secercah pandangan”. Lelaki itu mulai berbicara. Sebentuk syair ia tuturkan. Aku tetap mendengarkannya, walau sama sekali tak mengerti apa maksudnya. “dan disaat nadiku teronggok pada sebuah kematian, rindu itu akan tetap ada” Lanjutnya. Airmatanya mulai menetes semakin deras, dan singgah dipipinya yang mulai tampak keriput oleh garis usia. “dan jika waktu tak rela mempertemukan kita, biarlah kusimpul rinduku pada setiap coretan dikanvasku. Akan kulukis wajah bapak sampai aku lelah”. Sambungnya.
Wajah tua itu kini menatap mataku dalam-dalam, entah apa yang ia cari. Kemudian satu persatu kata mulai terukir membentuk rangkaian cerita. Sebuah kisah tentang Arini pun ia tuturkan tanpa terlihat ada sesuatu pun yang ia sembunyikan.
“Gadis itu, gadis bermata cokelat dan berambut pirang itu adalah buah cinta kami yang lahir sekitar dua puluh tiga tahun lalu. Dia adalah gadis yang periang disaat almarhum ibunya masih hidup. Tapi setelah kematian merenggut nyawa ibunya, ia berubah menjadi sosok gadis yang pendiam. Dia tak mau bicara, atau berkata-kata lagi. Setiapkali ada yang menanyakan kenapa, dia hanya menggeleng, tak ada sepatah katapun yang keluar dari kerongkongannya sejak itu. Saat itu, sewaktu almarhum ibunya meninggal, saya masih berada dalam tahanan penjara karena dituduh menggelapkan uang milyaran rupiah”. Bapak itu menuturkan
“Bapak tidak mencoba membela diri?” Tanyaku. Dia tersenyum, lalu menggeleng.
“Percuma. Betapapun kami tahu, juga Arini, bahwa saya tidak melakukan hal keji itu, tapi kami tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara, hingga akhirnya saya pun mendekap ditahanan selama kurang lebih dua tahun”. Lanjutnya. Aku masih menanti butiran kata-kata selanjutnya. Sejenak lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam.
“Lalu?” Tanyaku semakin penasaran.
“Enam bulan yang lalu saat saya keluar dari tahanan, Arini jatuh sakit. Berhari-hari saya menemaninya menghabiskan waktu dipembaringan rumah sakit. Dia pernah membacakan syair pada saya, tepatnya sehari sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya”. Lanjut lelaki tua itu. Aku tersentak! Gemuruh semakin bergejolak didadaku.
“Nafas terakhir?” Seruku tak mengerti apa maksudnya.
“Ya. Arini kini telah tiada. Dia meninggal tiga bulan yang lalu karena asam lambung yang kronis”. Tuturnya.
“Asam lambung?”
“Yach. Sejak kepergian ibunya Arini tidak mau makan, tak ada sesuap nasi pun yang mau ia telan jika tidak saya yang menyuapinya. Kalaupun ada, hanya satu dua suap saja yang berhasil masuk kemulutnya”. Jelasnya.
“Aku tak mengerti dengan semua ini”. Ucapku bingung.
“Arini seorang pelukis hebat. Berbagai juara pernah ia raih. Namanya semakin harum saat ia memenangkan juara pertama tingkat nasional. Saat itu dia mengambil tema lukisannya tentang ibu. Itulah sebabnya orang-orang mengenal kami dan menganggap kami itu ada. Semua karena jerih payah dan keuletan Arini yang tak kenal kata menyerah”. Tuturnya jelas.
Jika Arini telah pergi tiga bulan yang lalu, lantas siapa sosok yang kutemui ditaman kota dengan rambut pirang dan mata cokelat itu? Siapa pula sosok yang mengaku dirinya Arini? Jika sosok itu kini terpaut dalam sebuah batu nisan, lantas siapa sosok yang pernah menempelkan jemarinya dibibirku saat aku menyatakan cinta?
Tuhan, terlalu cepat kau panggil dia sebelum sempat kutorehkan cerita tentang rasa ini didiary mungilnya.
**
Arini telah pergi bersama rindu yang ia pendam untuk orang-orang yang ia cintai. Dia pergi dengan sebuah sajak rindu yang tak akan pernah karam walau akhir waktu menjulang. Arini telah mengajarkan keteguhan yang tak semua orang memilikinya. Dengan segala ketidak punyaannya, dia memperjuangkan segalanya agar bisa menitipkan nama harum kelak bila ia pergi.
Pada rinai gerimis malam ini ada wajah Arini yang singgah dipemandangan mataku. Sosok itu datang dengan senyumannya. Dia tersenyum indah! Meski dibola matanya yang cokelat itu masih sempat kulihat secercah warna merah.
*end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar