Kamis, 29 April 2010

Cermin yang Retak

By : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Setiapkali aku berkaca pada hari kemarin, aku seolah melihat diriku dalam sebuah cermin yang retak. Selalu ingin kucurahkan air mata untuk mewakili perasaan gundahku. Aku tau, tak seharusnya lagi aku menghubungimu. Akupun tau, terlalu hina diriku untuk mengemis cintamu lagi, karena kutau engkau telah berdua, dan akupun juga. Aku mencintai dia yang kini mengisi hari-hariku setelah kau pergi, tetapi aku tak bisa menepis rasa rindu dan keinginan untuk tetap bersamamu.
Berulangkali kucoba untuk melupakanmu, melupakan semua tentang kita. Tapi kenapa terlalu sulit? Sungguh! Jika kesempatan itu masih ada, aku ingin menghentikan waktu, dan membiarkannya tetap menjadi saksi cinta kita. Aku sadar, betapa aku kehilanganmu. Aku mengerti betapa berartinya kau dalam hidupku. Kau selalu menghapus air mataku saat aku menangis, kau selalu menenangkan hatiku disaat suasana hatiku buram.
Aku tak mengerti mengapa kini aku baru menyadari cinta ini. Setelah semuanya menjadi puing-puing masalalu yang tak akan pernah kembali lagi.
Akh….!!
Aku mencintaimu!
Aku tak mengerti bagaimana harus hidup tanpa bayang-bayangmu lagi. Terlalu sulit kasih.
**
Kubaringkan tubuhku dikasur, kupejamkan mata, kuhirup nafas dalam-dalam. Aku ingin merasakan belaianmu lagi seperti waktu itu. Waktu kau belai rambutku, kau hapus air mataku.. terlalu indah sayang. Entah bagaimana aku harus belajar melupakan semua yang pernah kulalui bersamamu. Sungguh! Terlalu sulit.
Hampir setahun aku berusaha melepaskan semua yang pernah kita jalani. Kucoba leburkan rindu, menguburnya jauh ke ulu hati, tapi aku tak bisa. Disetiap malam-malamku, kau hadir bagai bayangan yang bercermin pada kelabunya malam.
Inbox hp ku sepi. Tak ada lagi yang mengucapkan selamat pagi, atau sekedar mengirimkan kalimat selamat malam, mimpi indah, dan entah apalagi. Aku kehilangan semua itu. Tak ada lagi yang mengajakku menikmati indahnya senja ditengah kota, tak ada lagi yang menantangku untuk belajar bahasa pemrograman. Akh…!! Kenapa begitu cepat?
**
Kusandarkan tubuhku kebadan kursi, di kantin kampusku. Kutatap langit-langit siang dengan pandangan kosong. Kubiarkan angin menyapaku ramah. Tiba-tiba air mataku berderai, melintas hingga kesudut bibirku. Tak ku hapus setetespun. Anganku berlabuh pada kenangan beberapa waktu silam, sewaktu aku masih sama-sama menjalani hari-hari dengan Ahda, mantan kekasihku. Aku tak pernah serindu ini padanya. Sungguh!
Sebuah tangan, hangat, tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku tersentak dari lamunan, kulirik kebelakang, dan ternyata Dhika, kekasihku. Sebuah senyuman mungil terukir dibibirku,dia membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih indah.

“Kenapa menangis? Ada yang salah?” tanya Dhika padaku, seraya duduk disebelahku. Aku menyandarkan kepalaku dibahunya, dan dia pun mengelus rambutku manja. Aku menggeleng.
“Hari ini ada acara?” tanya Dhika, melanjutkan kata-katanya.
“Tidak..,” jawabku sambil terisak, sesunggukkan.
“Hari ini kita jalan yuk..” ajaknya.
“Kemana?”
“Kesebuah tempat yang belum pernah kamu kunjungi”

Akhirnya sepulang kuliah, aku dan Dhika pergi kesebuah tempat, yang aku sendiri tak tau tempat apa ini namanya. Ini kali pertamanya aku berada ditempat ini. Indah!
**
Sebuah taman yang indah. Penuh warna-warni bunga. Harum semerbak melebihi parfum termahal sekalipun. Ada banyak kupu-kupu yang bermain ditaman ini dengan riang. Dipojok-pojok taman, terlihat sepasang remaja seumuranku sedang duduk menikmati kesejukan hari. Angin sepoi-sepoi, seperti berada di pantai. Aku dan Dhika duduk disebuah bentangan tikar, sama seperti pengunjung yang lainnya.
“Taman apa ini namanya?” Tanyaku sambil terus mengamati berbagai macam kupu-kupu yang terbang dengan riang.
“orang-orang sini menamai taman ini taman ini taman edelweiss…” jawabnya.
Sesaat suasana hening.
“Happy b’day sayang..,” ucap Dhika tiba-tiba. Aku tak menjawab, pikiranku sedang mengingat-ingat tanggal berapa hari ini. Aku yakin sekali ini bukan tanggal lahirku. Sama sekali bukan!
“Kamu mau pake’ ini?” tanya Dhika lagi, seraya menyodorkan sepasang cincin bermata siput. Lucu! Uniq!
“Happy b’day? “ tanyaku sambil mengerutkan dahi, tak mengerti.
“Hari ini ulang tahun cinta kita. Genap setahun sudah kita jadian…” jelasnya.

Tak terasa, ternyata aku telah menjalani hubungan dengan Dhika selama hampir setahun lamanya, dan itu berarti, setahun pulalah aku dan Ahda berpisah. Air mataku menetes lagi, Dhika menghapusnya dengan penuh kasih sayang. “jangan pernah menangis lagi..” bisiknya.
**
Selama ini Dhika memang tak punya banyak waktu untukku, seperti Ahda dulu. Aku dan Dhika juga tidak seterbuka sewaktu bersama Ahda dulu. Kesibukan yang seakan menghalangi kebersamaan kami. Hari-hari yang kurasakan sepi, mungkin karena aku tak punya banyak waktu untuk melaluinya bersama Dhika, seperti waktu aku masih bersama Ahda dulu.
Sebenarnya aku bingung, jika harus menetapkan pilihan pada cintaku. Aku tak bisa memilih antara Ahda ataupun Dhika. Terlalu samar garis batas antara mereka. Ahda sangat mencintaiku dulu! Yach! Dulu. Karena aku tak pernah tau bagaimana perasaannya kini padaku setelah lama kami berpisah. Apapun rela dia lakukan hanya untuk membuatku tersenyum. Apapun rela dia korbankan untuk nyawaku, sama seperti ketika aku harus menghadapi masa kritis disebuah rumah sakit, beberapa waktu lalu.

Sedangkan Dhika, aku tak pernah tau, seberapa tinggi posisiku dihatinya. Seberapa pentingnya aku dihidupnya. Meskipun Dhika kerapkali berusaha meyakinkan aku akan cintanya, namun sulit untuk menyetarakan posisinya seperti posisi Ahda dihatiku. Sama! Dulu aku pun tak pernah bisa mencintai Ahda seutuhnya. Aku selalu menjadikan Ahda diposisi kedua setelah Edward, cinta pertamaku. Entahlah..
**
Cinta begitu rumit. Terlalu misterius!
Kerinduan membuatku jemu. Namun kenyataan tak bisa ku halau. Aku begitu menginkankan semuanya berjalan sempurna. Mungkin aku egois!
Jika cinta bersedia memberiku cahaya, aku ingin dia menunjukkan jalan padaku, dimana cinta suci itu berada? Jika cinta itu angin, yang datang-pergi begitu saja, aku ingin dia membelaiku, dan memberikanku sentuhan terlembutnya.
Kini, aku bagai berkaca pada cermin yang retak. Aku tak bisa melihat hatiku, atau cintaku. Semua terlihat retak, berantakan! Berkaca pada cermin yang retak membuatku harus berlatih menggunakan isyarat maya untuk membaca bayangan mimpi yang kelabu.
Cinta, tak bisakah kau mengartikan rasa rindu ini? Rindu yang selalu kutitipkan untukmu lewat syair-syair malam yang kedengarannya sumbang.

*end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar