Sabtu, 24 April 2010

Rindu Tengah Malam

Rindu Tengah Malam
Oleh : Erny Wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Kereta api jurusan Bandung-Jakarta baru saja tiba di stasiun. Kusandang tas ranselku di bahu, lalu langkahku menjauh dari rentetan gerbong kereta. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka pukul setengah satu malam. Mataku mencari-cari sesosok yang memang sudah sangat kurindu beberapa hari ini.
Tepat setelah aku berada di dekat palang kereta, sebuah senyuman terlukis indah di wajah kekasihku – Reza. Aku langsung merangkulkan tanganku dipinggangnya lalu memeluknya erat, dan dia membalas pelukan itu dengan merangkulkan tangannya dibahuku. Masih sempat kurasakan belaian tangannya saat mengacak-acak rambutku hingga berantakan.
“Akh, ternyata ada rindu yang selama ini berusaha kusembunyikan darinya. Dan malam ini rindu itu pecah sebab aku tak lagi kuasa untuk membendungnya. Aku benar-benar merindukan dia! Tapi aku terlalu egois untuk sekedar mengatakan padanya bahwa aku tak sanggup jika harus terus-terusan membiarkan rindu ini beku”.

“Kasihan dia, pasti capek banget ya?” Ucap Reza sambil menggandengku, berjalan menuju sepeda motor yang diparkirkannya didepan sana. Aku tersenyum – manja.
“Dia udah makan?” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Belum” Jawabku singkat
“Kita mau langsung pulang atau beli makanan dulu?” Tanyanya. Sebenarnya aku tidak lapar, karena mataku jauh lebih kantuk daripada rasa lapar yang ada. Tapi rasanya aku tidak rela jika malam ini akan berlalu terlalu cepat. Rinduku masih menggumpal, dan aku masih ingin menyematkan waktu lebih lama lagi dengannya.
“Kita beli makan saja yuk” Ajakku.
“Oke”

Reza mulai menstarter sepeda motornya. Dua ban keretanya mulai melaju berkejar-kejaran. Aku melingkarkan tanganku dipinggangnya. Lebih erat dari biasanya. Kusandarkan kepalaku dibahunya – manja!
Sesekali aku masih sempat merasakan Reza menggenggam jemariku erat disela-sela ia mengendarai motornya. Yach, masih membekas diingatanku walaupun Reza masih kelihatan ragu-ragu untuk hanya sekedar menggenggam jemariku. Mungkin dia terlalu menjaga diriku, juga segala tentangku – tentang kami.
Dingin angin malam semakin terasa nyeri di sum-sumku, namun kerinduan yang hampir kering itu masih sangat haus oleh pertemuan singkat ini. Rasa kantuk yang tadinya seakan mengapit dua bola mataku, akhirnya hambar dihempas rindu.
**
Tak lama kemudian akhirnya kami pun sampai disebuah rumah makan yang menjual sate padang. Reza memesan satu porsi untukku, tapi dibungkus. Setelah itu kami pun kembali pulang. Sepanjang jalan menuju kostku, ada dawai yang seakan bersenandung lagi.
Akh, seandainya bisa kuhentikan waktu – sejenak! Aku ingin malam ini berlalu lebih lama dari biasanya. Aku ingin rindu ini pecah pada sebuah akhir yang indah.
**
Ternyata ada rindu yang diam-diam menikamku. Padahal aku telah berusaha untuk menguburnya dalam-dalam, namun saat bertemu dia lagi, aku sungguh tak punya kendali walau untuk sekedar menahan gejolak itu.
**
Malam masih akan berlalu lama lagi setelah Reza mengantarku pulang. Sambil membiarkan tubuhku terbaring pada sebuah kasur, mataku menatap langit-langit kamar yang sebenarnya itu-itu saja, tak ada yang berubah sedikitpun, dengan tatapan yang erat. Aku seolah menemukan sosok bayangan disana. Ada Reza yang membayang diingatanku, lalu membias pada suatu sudut diruang kamarku.
Aku tersenyum saat kusadari ternyata bayangan itu hanya ilusi. Dan ketika sebuah pandangan tertuju pada seonggok PC yang letaknya di sudut dekat pintu itu, aku langsung bangkit dari kasur dan langsung menyalakan tombol power di CPU, kemudian dilanjutkan lagi dengan menekan tombol on pada dekstopku.
Rangkaian kata mulai curah pada tiap lembar aplikasi Microsoft word. Disana ada banyak kata yang mengalir deras tak terbendung. Disana ada sebuah fakta yang sengaja kurangkaian dengan ilusi. Dan disana ada sepasang rindu yang beku disudut waktu. Aku merangkaikan semuanya dengan bahasa, juga cerita yang alurnya kumulai pada suatu pertemuan malam itu.
Jika sahabatku bicara pada percakapan senja, aku justru bicara tentang rindu ditengah malam yang hening. Rindu yang akhirnya pecah dan melukiskan warna merah merona diwajahku. Akh, rindu!



*end.


Keterangan:
*dia = sapaan/panggilan akrab sebagai pengganti nama.
*percakapan senja = cerpen sahabat dalam forum Artefak yang dibukukan secara bersamaan dengan cerpen penulis yang berjudul ‘Digerbang Penantian’ oleh Laboratorium Sastra Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar