Kamis, 29 April 2010

Cermin yang Retak

By : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Setiapkali aku berkaca pada hari kemarin, aku seolah melihat diriku dalam sebuah cermin yang retak. Selalu ingin kucurahkan air mata untuk mewakili perasaan gundahku. Aku tau, tak seharusnya lagi aku menghubungimu. Akupun tau, terlalu hina diriku untuk mengemis cintamu lagi, karena kutau engkau telah berdua, dan akupun juga. Aku mencintai dia yang kini mengisi hari-hariku setelah kau pergi, tetapi aku tak bisa menepis rasa rindu dan keinginan untuk tetap bersamamu.
Berulangkali kucoba untuk melupakanmu, melupakan semua tentang kita. Tapi kenapa terlalu sulit? Sungguh! Jika kesempatan itu masih ada, aku ingin menghentikan waktu, dan membiarkannya tetap menjadi saksi cinta kita. Aku sadar, betapa aku kehilanganmu. Aku mengerti betapa berartinya kau dalam hidupku. Kau selalu menghapus air mataku saat aku menangis, kau selalu menenangkan hatiku disaat suasana hatiku buram.
Aku tak mengerti mengapa kini aku baru menyadari cinta ini. Setelah semuanya menjadi puing-puing masalalu yang tak akan pernah kembali lagi.
Akh….!!
Aku mencintaimu!
Aku tak mengerti bagaimana harus hidup tanpa bayang-bayangmu lagi. Terlalu sulit kasih.
**
Kubaringkan tubuhku dikasur, kupejamkan mata, kuhirup nafas dalam-dalam. Aku ingin merasakan belaianmu lagi seperti waktu itu. Waktu kau belai rambutku, kau hapus air mataku.. terlalu indah sayang. Entah bagaimana aku harus belajar melupakan semua yang pernah kulalui bersamamu. Sungguh! Terlalu sulit.
Hampir setahun aku berusaha melepaskan semua yang pernah kita jalani. Kucoba leburkan rindu, menguburnya jauh ke ulu hati, tapi aku tak bisa. Disetiap malam-malamku, kau hadir bagai bayangan yang bercermin pada kelabunya malam.
Inbox hp ku sepi. Tak ada lagi yang mengucapkan selamat pagi, atau sekedar mengirimkan kalimat selamat malam, mimpi indah, dan entah apalagi. Aku kehilangan semua itu. Tak ada lagi yang mengajakku menikmati indahnya senja ditengah kota, tak ada lagi yang menantangku untuk belajar bahasa pemrograman. Akh…!! Kenapa begitu cepat?
**
Kusandarkan tubuhku kebadan kursi, di kantin kampusku. Kutatap langit-langit siang dengan pandangan kosong. Kubiarkan angin menyapaku ramah. Tiba-tiba air mataku berderai, melintas hingga kesudut bibirku. Tak ku hapus setetespun. Anganku berlabuh pada kenangan beberapa waktu silam, sewaktu aku masih sama-sama menjalani hari-hari dengan Ahda, mantan kekasihku. Aku tak pernah serindu ini padanya. Sungguh!
Sebuah tangan, hangat, tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku tersentak dari lamunan, kulirik kebelakang, dan ternyata Dhika, kekasihku. Sebuah senyuman mungil terukir dibibirku,dia membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih indah.

“Kenapa menangis? Ada yang salah?” tanya Dhika padaku, seraya duduk disebelahku. Aku menyandarkan kepalaku dibahunya, dan dia pun mengelus rambutku manja. Aku menggeleng.
“Hari ini ada acara?” tanya Dhika, melanjutkan kata-katanya.
“Tidak..,” jawabku sambil terisak, sesunggukkan.
“Hari ini kita jalan yuk..” ajaknya.
“Kemana?”
“Kesebuah tempat yang belum pernah kamu kunjungi”

Akhirnya sepulang kuliah, aku dan Dhika pergi kesebuah tempat, yang aku sendiri tak tau tempat apa ini namanya. Ini kali pertamanya aku berada ditempat ini. Indah!
**
Sebuah taman yang indah. Penuh warna-warni bunga. Harum semerbak melebihi parfum termahal sekalipun. Ada banyak kupu-kupu yang bermain ditaman ini dengan riang. Dipojok-pojok taman, terlihat sepasang remaja seumuranku sedang duduk menikmati kesejukan hari. Angin sepoi-sepoi, seperti berada di pantai. Aku dan Dhika duduk disebuah bentangan tikar, sama seperti pengunjung yang lainnya.
“Taman apa ini namanya?” Tanyaku sambil terus mengamati berbagai macam kupu-kupu yang terbang dengan riang.
“orang-orang sini menamai taman ini taman ini taman edelweiss…” jawabnya.
Sesaat suasana hening.
“Happy b’day sayang..,” ucap Dhika tiba-tiba. Aku tak menjawab, pikiranku sedang mengingat-ingat tanggal berapa hari ini. Aku yakin sekali ini bukan tanggal lahirku. Sama sekali bukan!
“Kamu mau pake’ ini?” tanya Dhika lagi, seraya menyodorkan sepasang cincin bermata siput. Lucu! Uniq!
“Happy b’day? “ tanyaku sambil mengerutkan dahi, tak mengerti.
“Hari ini ulang tahun cinta kita. Genap setahun sudah kita jadian…” jelasnya.

Tak terasa, ternyata aku telah menjalani hubungan dengan Dhika selama hampir setahun lamanya, dan itu berarti, setahun pulalah aku dan Ahda berpisah. Air mataku menetes lagi, Dhika menghapusnya dengan penuh kasih sayang. “jangan pernah menangis lagi..” bisiknya.
**
Selama ini Dhika memang tak punya banyak waktu untukku, seperti Ahda dulu. Aku dan Dhika juga tidak seterbuka sewaktu bersama Ahda dulu. Kesibukan yang seakan menghalangi kebersamaan kami. Hari-hari yang kurasakan sepi, mungkin karena aku tak punya banyak waktu untuk melaluinya bersama Dhika, seperti waktu aku masih bersama Ahda dulu.
Sebenarnya aku bingung, jika harus menetapkan pilihan pada cintaku. Aku tak bisa memilih antara Ahda ataupun Dhika. Terlalu samar garis batas antara mereka. Ahda sangat mencintaiku dulu! Yach! Dulu. Karena aku tak pernah tau bagaimana perasaannya kini padaku setelah lama kami berpisah. Apapun rela dia lakukan hanya untuk membuatku tersenyum. Apapun rela dia korbankan untuk nyawaku, sama seperti ketika aku harus menghadapi masa kritis disebuah rumah sakit, beberapa waktu lalu.

Sedangkan Dhika, aku tak pernah tau, seberapa tinggi posisiku dihatinya. Seberapa pentingnya aku dihidupnya. Meskipun Dhika kerapkali berusaha meyakinkan aku akan cintanya, namun sulit untuk menyetarakan posisinya seperti posisi Ahda dihatiku. Sama! Dulu aku pun tak pernah bisa mencintai Ahda seutuhnya. Aku selalu menjadikan Ahda diposisi kedua setelah Edward, cinta pertamaku. Entahlah..
**
Cinta begitu rumit. Terlalu misterius!
Kerinduan membuatku jemu. Namun kenyataan tak bisa ku halau. Aku begitu menginkankan semuanya berjalan sempurna. Mungkin aku egois!
Jika cinta bersedia memberiku cahaya, aku ingin dia menunjukkan jalan padaku, dimana cinta suci itu berada? Jika cinta itu angin, yang datang-pergi begitu saja, aku ingin dia membelaiku, dan memberikanku sentuhan terlembutnya.
Kini, aku bagai berkaca pada cermin yang retak. Aku tak bisa melihat hatiku, atau cintaku. Semua terlihat retak, berantakan! Berkaca pada cermin yang retak membuatku harus berlatih menggunakan isyarat maya untuk membaca bayangan mimpi yang kelabu.
Cinta, tak bisakah kau mengartikan rasa rindu ini? Rindu yang selalu kutitipkan untukmu lewat syair-syair malam yang kedengarannya sumbang.

*end.

Syair Cinta di Diaryku

Oleh : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Sesekali aku masih berharap dia datang lagi dan menemaniku seperti malam itu. Yach, sesekali! Bahkan nyaris tiap hari aku berkeinginan seperti itu. Inilah hal yang paling kutakutkan dalam hidupku, saat aku mulai mencintai seseorang, saat aku mulai menitipkan hatiku padanya, dia justru pergi meninggalkanku. Ini bukan yang pertama – tapi aku selalu berharap inilah yang terakhir.
Lelaki itu – lelaki yang pernah menemani hari-hariku yang menjemukan, dia yang pernah memotivasiku untuk bangkit disaat aku terjatuh, dan dia yang namanya pernah kulukis dihatiku itu kini telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
Kecelakaan itu telah merebut nyawanya – nyawa orang yang sangat kusayangi. Dia pergi berlumur darah, pergi dengan isak tangisku yang mengaung tak rela saat desah nafas terakhirnya masih tercium hangat disisa-sia rintih sakit yang berusaha ia tahan.
Aku masih sempat melihatnya tersenyum meski itu untuk yang terakhir kalinya. Akupun masih sempat merasakan lembut belaian tangannya mengelus rambutku – walau sentuhan itu nyaris tak berdaya.
“Kamu harus tetap tersenyum meski aku tak ada lagi bersamamu nanti” Itulah kata-katanya yang masih sempat kudengar siang itu – sebelum dia menghembuskan nafas terakhir kalinya. Aku menggeleng pelan, menahan perih yang berkeping-keping di ulu hatiku. Satu persatu nafasku terengah dan luluh mulai menetes dipermukaan pipiku. Aku masih sempat merasakan dia menghapus titik-titik luluh itu terakhir kalinya.
“Apapun alasannya, aku ingin kamu tetap ada bersamaku”. Rintihku saat itu, saat matanya hampir terkatup dan desah nafasnya semakin melemah.
“Aku akan bertahan semampuku” Ucapnya terbata. Saat itu aku tidak melihat kekuatannya untuk bertahan lagi. Dua bola matanya mulai terkatup rapat dan desah nafasnya lembut membius untuk terakhir kalinya. Dia pergi. Aku menangis dalam diam – nyaris tak ada suara. Aku tak bisa berkata-kata, selain membiarkan dua tanganku tetap memeluk tubuh kakunya yang tak lagi bernyawa itu.
**
Sejak saat itu aku menutup diri untuk cinta. Setiapkali aku melintasi jalanan ini ingatanku masih lekat pada peristiwa waktu itu. Sebuah peristiwa yang membiarkan nyawa kekasihku hilang begitu saja.
Aku benci dengan balapan! Yach, aku benci balapan dan semua yang ada hubungannya dengan balapan. Kalian mau tahu kenapa? Karena kekasihku pergi dan tak akan pernah kembali lagi saat salah seorang pesaingnya dengan sengaja menyerempet sepeda motornya hingga dia terpelanting membentur jalanan aspal yang kering.
**
Tapi semua rasa traumaku tentang kehilangan nyaris usang seiring waktu saat aku bertemu dengan sosok pria yang tampil tenang, yang dari bibirnya aku tak pernah menemukan kata-kata kotor, yang dari matanya aku tak pernah melihatnya berkeliaran. Setidaknya disaat dia bersamaku. Namanya Ricky – seorang Mahasiswa jurusan manajemen informatika disalah satu perguruan tinggi swasta. Dia teman sekelasku.
Awalnya semua biasa saja, tidak ada yang menarik dari Ricky selain aku tertarik padanya sebagai seorang sahabat. Dan semua berangsur berubah saat Ricky memintaku untuk menjadi kekasihnya.
**
Akan kukatakan pada kalian tentang rasa takut itu yang kini mulai hadir lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengubur ketakutan ini, bahkan aku sendiri pun tak pernah tahu mengapa rasa takut ini selalu menghantuiku. Aku telah berhasil mengubur rasa takutku selama setahun lebih. Tapi hari ini, disaat usia pacaran kami hampir genap setahun enam bulan, aku mulai dihantui ketakutan yang sama. Aku mulai takut kehilangan dia!
Sungguh!
Setiapkali senja tiba dan warna merah mulai berayun-ayun dibelahan langit sebelah barat, aku selalu berdo’a agar aku tidak benar-benar mencintai Ricky. Aku kerapkali berdoa semoga perasaan ini tak lebih dari rasa sayang seorang sahabat. Tapi sepertinya aku salah, aku mulai menaruh hati padanya. Aku mulai mencintai dia disaat aku tahu bahwa aku akan pergi.
Jika harus ada yang boleh kukatakan saat ini, aku hanya ingin dia tahu bagaimana aku berusaha untuk tetap bertahan demi dia. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, dan aku pun tahu pedihnya luka karena ditinggalkan. Untuk itulah aku ingin tetap ada bersama dia.
**
Aku penderita Leokimia Kronis. Yach, itulah alasan mengapa aku takut kehilangan dia. Tuhan telah menitipkan hatiku untuk dia, Tuhan telah membiarkan aku menjalani kehidupan bersama dia, dan hari ini aku tak bisa lagi memungkiri bahwa benih-benih cinta itu telah mekar.
**
Ini adalah hari yang paling kutakutkan. Hari yang memaksaku untuk terbaring kembali di pembaringan rumah sakit dan membiarkan jarum-jarum infuse menjerat hampir seluruh tubuhku hingga membiarkanku berusaha menahan rasa sakit yang teramat nyeri.
“Maafkan Rara” Ucapku saat Ricky datang membesuk. Dia menggeleng, lalu dari bibirnya aku melihat sebuah senyuman. Digenggamnya jemariku erat, kemudian dia menempelkannya didadanya. Aku merasakan ada detak yang tak beraturan disana.
“Aku mencintaimu apa adanya”. Ucapnya begitu tulus. Aku bisa merasakan bahwa kata-kata itu benar-benar tulus. Sebuah kerlingan bercak luluh singgah dikorneanya. Lalu dia mencium keningku. Hangat!
“Aku mencintaimu”. Balasku.

Aku tidak tahu pasti apakah aku akan sembuh dari penyakit ini. Yang ku tahu aku ingin tetap bertahan demi orang-orang yang kusayangi dan demi orang-orang yang menyayangiku.

**
“Inilah cinta, yang darinya kamu menemukan kekuatan meski sebenarnya kamu tahu kamu tidak akan mampu bertahan. Dan inilah cinta, yang darinya kamu melihat kehidupan meski kematian kerapkali membayangimu”. Itu adalah sepenggal syair yang pernah kutuliskan di diaryku saat aku mulai menyadari bahwa aku mencintai Ricky.

*end.



Sabtu, 24 April 2010

Wanita bermata cokelat

Wanita bermata cokelat

Oleh : Erny Wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Jika aku kerapkali membiarkan jari-jariku menari diatas keyboard komputerku, wanita itu justru membiarkan jemarinya menari diatas kanvas. Setiap garis ia hubungkan hingga membentuk sesuatu yang kadangkala nyaris aku sendiri pun tak tahu apa itu. Dia bagai orang bisu yang tak bisa berkata-kata. Setiapkali aku bertanya sesuatu, dia hanya memainkan dua bola matanya sebagai isyarat, atau kadang-kadang dia hanya sekedar mengangguk atau menggeleng pelan.

Matahari belum sempurna betul memancarkan sinar terangnya. Cahayanya masih mengintip dari balik dedaunan muda yang sesekali terhempas angin. Sejak pagi tadi, saat mentari masih teronggok bisu membiuskan fajar kebumi, wanita berambut pirang dan bermata cokelat itu telah duduk manis dihadapan kanvasnya. Sesekali ia torehkan warna hitam, merah, biru, dan entah apalagi. Aku memperhatikannya dari jauh. Sangat jauh!

Entah apa yang pernah terjadi dimasalalunya, hingga dua bola matanya selalu tergenang butiran salju yang hampir tumpah. Aku yakin wanita itu tidak bisu, karena waktu itu aku sempat mendengar dia bicara pada seseorang dibalik telphon selulernya. Tapi aku sungguh tak mengerti mengapa dia enggan berbagi kisah denganku? Yach, aku memang tidak mengenal dia, tapi tetap saja aku sangat bahagia jika dia mau berbagi kisah. Entahlah.

**

Seakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang terlihat asing dimataku. Sosok bermata cokelat yang biasanya terpaku dalam diam disudut kursi taman itu, kini nyaris tak tampak, padahal matahari sudah terlalu tinggi dipermukaan langit. Cahayanya pun terbias pada rinai garis-garis awan yang terlihat seolah kelabu.

Kulangkahkan kakiku kearah tempat wanita bermata cokelat itu biasa menjalani rutinitasnya. Disana aku melihat ada sisa-sisa warna cat yang masih tertinggal diatas batu besar tempat biasa ia duduk. Aku berharap hari ini wanita itu datang dengan membawa seutas senyuman dan mau membuka diri untuk berbicara denganku. Sungguh! Aku penasaran siapa dia sebenarnya.

“Maaf, anda siapa?” Tiba-tiba suara itu menghamburkan lamunanku. Kuarahkan pandangan menuju suara tersebut. Dan sesosok wanita misterius itu berdiri tepat dibelakangku. Lengan sebelah kirinya mengapit lukisan-lukisan yang hampir jadi, tapi tak seutuhnya jadi, sedangkan kedua tangannya memegang peralatan lukis. Aku berdiri dari dudukku, lalu kusapa dia ramah.

“Maaf, aku Reza”. Ucapku sambil mengulurkan tangan. Wanita itu lalu meletakkan peralatan lukisnya diatas sebuah meja kecil, dan disambutnya uluran tanganku.

“Arini”. Jawabnya datar.

Oh,tuhan tangannya begitu lembut. Saat dia membalas uluan tanganku, aku bisa merasakan betapa dinginnya jemari itu. Sangat dingin! Dan ketika itu aku bisa melihat dengan jelas betapa indahnya dia. Tubuh jangkungnya yang putih dengan mata belo’ dan rambut pirang sebahu, sempurnalah ia bagai seorang bidadari. Aku belum pernah menemui seorang wanita secantik dia.

Aku dan wanita itu lalu brbincang-bincang. Meski sebelumnya beberapa pertanyaanku sempat tak dijawabnya.

“Lukisan kamu bagus. Warnanya hidup. Mengapa tak dijual saja?” Tanyaku membuka obrolan.

“Lukisan ini akan kujual”. Ucapnya tanpa mimik.

“Kalau boleh tahu siapa sosok lelaki dalam lukisan itu?” Tanyaku hati-hati, takut membuatnya tersinggung. Sejenak dia menatap mataku tajam, tanpa senyum. Tanpa kata-kata pula.

“Maaf kalau pertanyaan itu membuatmu tersinggung. Aku tidak bermaksud…”

“Tidak apa-apa”. Ucapnya sebelum aku sempat meneruskan kata-kataku. Lalu kemudian suasana hening lagi.

**

Hampir seminggu perempuan itu tak lagi pernah tampak berada ditaman kota. Aku kehilangan dia, sama kehilangannya saat dia telat datang tempo hari. Bahkan ini jauh lebih kehilangan!

Ada rindu yang diam-diam mencuri hatiku. Ada rindu yang pelan-pelan membelaiku lewat sapaan angin yang ramah. Aku mencoba membaca warna rindu itu, rindu yang sebelumnya tak pernah ada. Dan hari ini warna rindu itu semakin jelas, mengubun diurat nadiku.

Aku mencari sosok itu, mencarinya tanpa identitas yang kukenal. Setiap orang yang kutemui ditaman ini selalu kutanyai tentangnya. Tapi tak satu pun yang tahu. Semuanya menggeleng, tak ada satu pun yang tahu dimana dia. Dan anehnya lagi, tak pula ada yang tahu sosok pelukis itu ditaman ini.

“Maaf pak, numpang tanya”. Ucapku pada salah seorang bapak yang lewat tepat diseonggok batu besar tempat wanita itu biasa meopangkan waktunya.

“Ya”

“Bapak tahu tidak wanita yang biasanya melukis dibatu besar ini?” Tanyaku sopan. Matanya sempat mengingat-ingat, dan keningnya mengernyit, lalu cepat-cepat dia menggeleng dan kemudian pergi meninggalkanku tanpa kata-kata. Begitulah kerapkali yang terjadi saat aku menanyakan tentang sosok pelukis itu.

“Kenapa tidak ada yang tahu?”. Gumamku dalam hati. Aku sudah kehilangan sosok itu lebih dari dua minggu, dan setiap orang yang kutanyai tak satupun yang tahu. Kalau pun ada, hanya beberapa yang sempat mengernyitkan dahinya. Tapi tak mengatakan apa-apa. Seolah sesuatu pernah terjadi disini. Entahlah.

**

Gulungan ombak menyapaku ramah. Sesekali dihempasnya kakiku. Riakannya seolah membuat damai itu bersenandung dikedalaman hatiku. Kubiarkan mataku memandang jauh kedepan dengan tatapan kosong. Sambil menikmati pagi yang masih sangat asri.

Sesosok wanita baru saja melintas didepanku. Aku cepat-cepat menolehkan pandangan kearahnya. Sosok itu belum jauh.

“Arini!” Panggilku. Sosok itu berhenti, tanpa membalikkan tubuhnya kearahku. Aku cepat-cepat berlari mendekatinya. Ada senyuman mungil dibibir tipisnya yang dipolesi lipstick merah jambu itu. Senyuman bidadari bila aku menyebutnya.

“Arini, kamu kemana saja? Aku selalu menunggumu ditaman, tapi kamu tak pernah datang lagi. Apa khabar?” Tanyaku bertubi-tubi, seolah ingin melepaskan rindu yang lama menggores hati. Dia diam saja, lalu tangan kanannya mengulurkan sebuah bingkisan berukuran sedang padaku. Aku yakin itu adalah lukisan, namun aku tak tahu pasti lukisan siapa yang diberikannya padaku. Apakah mungkin itu gambarku? Entahlah.

Kugenggam jemari itu, dan rasa dingin seperti waktu pertamakali aku menggenggam jemarinya masih sangat terasa. Bagai kepingan es yang seolah mencair. Dia mengerlipkan mata cokelatnya, lalu ada setetes luluh yang singgah dipipinya. Tubuh itu terlihat lemah apalagi saat ia meneteskan airmatanya.

“Aku harus pergi”. Ucapnya saat ombak bergulung semakin deras, menghentakkan desir yang bergemuruh didadaku. Aku mengangguk pelan, nyaris tak terlihat.

“Aku mencintaimu” Ucapku saat aku masih sempat melihat mata indah itu. Lalu dia menempelkan jari telunjuknya dibibirku.

“Aku tak pantas untuk kau cintai”. Ucapnya datar.

Saat aku ingin menanyakan mengapa, dia lebih dulu meninggalkanku pada sekeping sunyi yang mungkin akan menemani hari-hariku sejak ia pergi nanti.

**

Langit kelam, hanya kerlip bintang-bintang senja yang jumlahnya masih bisa dihitung jarilah yang seolah memberi warna. Tak ada purnama malam ini, tak juga ada gerimis. Malam ini datar saja, seperti tak berirama. Sajak-sajaknya sumbang, namun tetap kunikmati. Aku baru saja membuka bingkisan yang diberikan Arini tadi siang, dan alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok itu – sosok yang ada dilukisan itu bukan aku, melainkan sosok lelaki tua yang kulitnya hampir keriput dimakan usia. Yang dimatanya terlihat keletihan yang sangat.

Cari dan temukan dia jika kau ingin tahu siapa aku. Tanyakan padanya segalanya tentangku. Dan jika nanti kelak kau bertemu dengannya, tolong sampaikan rinduku padanya’.

Setelah membaca secarik surat yang sengaja ia selipkan itu, hatiku bertambah bingung. Serangkaian Tanya mulai bergeming ditelingaku. Memburu didadaku. Hingga aku berharap malam akan segera berlalu, agar aku bisa mencari sosok dalam lukisan itu.

**

Senja hampir terbenam, sekelompok bangau berarak kembali kesarangnya. Aku tak tahu lagi kemana harus mencari sosok dalam lukisan itu, seharian kuhabiskan waktu kesegala penjuru, tapi tak juga kutemukan sosok itu. Kusandarkan tubuhku pada setetes rinai hujan yang mulai meneteskan airmatanya. Aku berteduh dibawah pohon dipinggir jalan Subroto sambil terus mencari-cari sosok dalam lukisan itu.

Saat gerimis mulai reda, kulanjutkan perjalananku. Aku berhenti pada sebuah warung tenda yang menjual nasi dan lalapan. Kupesan satu porsi.

“Terima kasih pak”. Ucapku saat pejual itu meletakkan pesanan dimejaku. Dia mengangguk.

“Sama-sama, silahkan menikmati” Balasnya.

Aku menyantap hidangan yang baru disajikan itu dengan lahap. Satu porsi nasi, lalapan dan ikan bakar menggugah seleraku hingga dipuncak hasrat. Entah karena masakannya yang lezat atau mungkin pula karena rasa lapar yang tak lagi tertahan, yang jelas satu porsi yang kupesan kini tinggal piringnya saja yang tersisa.

“Berapa pak?” Tanyaku saat ingin membayar

“Rp.35000 saja” Jawabnya sambil menyodorkan bill alias catatan kecil tentang harga. Aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.

“Ini kembaliannya”. Ucap bapak itu sambil menyodorkan lembaran uang sepuluh dan lima ribu. Aku mengambilnya. Bapak itu pun kembali meninggalkanku. Tapi saat kakinya hendak berbalik arah, aku cepat-cepat memanggilnya kembali.

“Maaf sebentar pak”. Pintaku santun. Lelaki tua itu pun membalikkan arahnya lagi. Aku mencoba membaca garis-garis diwajahnya. Dan kuyakin aku tak salah lagi.

“Ada apa nak? Kembaliannya kurang ya?” Tanyanya seraya mengernyitkan dahi. Aku menggeleng, lalu kuperlihatkan lukisan yang sejak tadi berada dalam tas ranselku. Beliau memperhatikan lukisan itu dengan seksama. Lalu dari bibirnya sempat terucap kata “Arini”.

Berulangkali lelaki itu mengucek matanya yang memerah oleh bendungan luluh yang sengaja tak ingin ditumpahkannya, walaupun aku tahu ada sesuatu yang pernah terjadi dengan dirinya dan sipembuat lukisan itu.

“Darimana kamu mendapatkan lukisan ini?” Tanyanya sambil menyunggingkan senyuman yang teramat getir.

“Dari seorang wanita berparas bidadari yang pernah saya temui beberapa waktu lalu pak”. Jawabku tak menyebutkan nama gadis itu, kuharap ada sepenggal cerita yang bersedia ia bagi padaku tentang Arini, atau apapun yang ada kaitannya dengan Arini dan lukisan itu.

Dia meletakkan lukisan itu lagi kemeja. Lalu nafasnya mendesah pelan, sangat pelan. Ada kata-kata yang bergeming dikerongkongannya. Lelaki setengah baya yang kini duduk didepanku itu kini terpaku dalam kebisuan. Matanya semakin memerah oleh percikan luluh yang tumpah satu persatu dari bias pelupuk mata tuanya yang lelah. Desah nafasnya seolah mengisyaratkan rindu yang lama ia sembunyikan. Entah apa yang telah terjadi, entah apa pula yang nyaris membuatnya menjadi bisu.

“Saat matahari terbenam nanti, aku akan menemui bapak dipenghujung senja yang mungkin tak terlihat oleh secercah pandangan”. Lelaki itu mulai berbicara. Sebentuk syair ia tuturkan. Aku tetap mendengarkannya, walau sama sekali tak mengerti apa maksudnya. “dan disaat nadiku teronggok pada sebuah kematian, rindu itu akan tetap ada” Lanjutnya. Airmatanya mulai menetes semakin deras, dan singgah dipipinya yang mulai tampak keriput oleh garis usia. “dan jika waktu tak rela mempertemukan kita, biarlah kusimpul rinduku pada setiap coretan dikanvasku. Akan kulukis wajah bapak sampai aku lelah”. Sambungnya.

Wajah tua itu kini menatap mataku dalam-dalam, entah apa yang ia cari. Kemudian satu persatu kata mulai terukir membentuk rangkaian cerita. Sebuah kisah tentang Arini pun ia tuturkan tanpa terlihat ada sesuatu pun yang ia sembunyikan.

“Gadis itu, gadis bermata cokelat dan berambut pirang itu adalah buah cinta kami yang lahir sekitar dua puluh tiga tahun lalu. Dia adalah gadis yang periang disaat almarhum ibunya masih hidup. Tapi setelah kematian merenggut nyawa ibunya, ia berubah menjadi sosok gadis yang pendiam. Dia tak mau bicara, atau berkata-kata lagi. Setiapkali ada yang menanyakan kenapa, dia hanya menggeleng, tak ada sepatah katapun yang keluar dari kerongkongannya sejak itu. Saat itu, sewaktu almarhum ibunya meninggal, saya masih berada dalam tahanan penjara karena dituduh menggelapkan uang milyaran rupiah”. Bapak itu menuturkan

“Bapak tidak mencoba membela diri?” Tanyaku. Dia tersenyum, lalu menggeleng.

“Percuma. Betapapun kami tahu, juga Arini, bahwa saya tidak melakukan hal keji itu, tapi kami tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara, hingga akhirnya saya pun mendekap ditahanan selama kurang lebih dua tahun”. Lanjutnya. Aku masih menanti butiran kata-kata selanjutnya. Sejenak lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam.

“Lalu?” Tanyaku semakin penasaran.

“Enam bulan yang lalu saat saya keluar dari tahanan, Arini jatuh sakit. Berhari-hari saya menemaninya menghabiskan waktu dipembaringan rumah sakit. Dia pernah membacakan syair pada saya, tepatnya sehari sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya”. Lanjut lelaki tua itu. Aku tersentak! Gemuruh semakin bergejolak didadaku.

“Nafas terakhir?” Seruku tak mengerti apa maksudnya.

“Ya. Arini kini telah tiada. Dia meninggal tiga bulan yang lalu karena asam lambung yang kronis”. Tuturnya.

“Asam lambung?”

“Yach. Sejak kepergian ibunya Arini tidak mau makan, tak ada sesuap nasi pun yang mau ia telan jika tidak saya yang menyuapinya. Kalaupun ada, hanya satu dua suap saja yang berhasil masuk kemulutnya”. Jelasnya.

“Aku tak mengerti dengan semua ini”. Ucapku bingung.

“Arini seorang pelukis hebat. Berbagai juara pernah ia raih. Namanya semakin harum saat ia memenangkan juara pertama tingkat nasional. Saat itu dia mengambil tema lukisannya tentang ibu. Itulah sebabnya orang-orang mengenal kami dan menganggap kami itu ada. Semua karena jerih payah dan keuletan Arini yang tak kenal kata menyerah”. Tuturnya jelas.

Jika Arini telah pergi tiga bulan yang lalu, lantas siapa sosok yang kutemui ditaman kota dengan rambut pirang dan mata cokelat itu? Siapa pula sosok yang mengaku dirinya Arini? Jika sosok itu kini terpaut dalam sebuah batu nisan, lantas siapa sosok yang pernah menempelkan jemarinya dibibirku saat aku menyatakan cinta?

Tuhan, terlalu cepat kau panggil dia sebelum sempat kutorehkan cerita tentang rasa ini didiary mungilnya.

**

Arini telah pergi bersama rindu yang ia pendam untuk orang-orang yang ia cintai. Dia pergi dengan sebuah sajak rindu yang tak akan pernah karam walau akhir waktu menjulang. Arini telah mengajarkan keteguhan yang tak semua orang memilikinya. Dengan segala ketidak punyaannya, dia memperjuangkan segalanya agar bisa menitipkan nama harum kelak bila ia pergi.

Pada rinai gerimis malam ini ada wajah Arini yang singgah dipemandangan mataku. Sosok itu datang dengan senyumannya. Dia tersenyum indah! Meski dibola matanya yang cokelat itu masih sempat kulihat secercah warna merah.

*end.

Rindu Tengah Malam

Rindu Tengah Malam
Oleh : Erny Wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Kereta api jurusan Bandung-Jakarta baru saja tiba di stasiun. Kusandang tas ranselku di bahu, lalu langkahku menjauh dari rentetan gerbong kereta. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka pukul setengah satu malam. Mataku mencari-cari sesosok yang memang sudah sangat kurindu beberapa hari ini.
Tepat setelah aku berada di dekat palang kereta, sebuah senyuman terlukis indah di wajah kekasihku – Reza. Aku langsung merangkulkan tanganku dipinggangnya lalu memeluknya erat, dan dia membalas pelukan itu dengan merangkulkan tangannya dibahuku. Masih sempat kurasakan belaian tangannya saat mengacak-acak rambutku hingga berantakan.
“Akh, ternyata ada rindu yang selama ini berusaha kusembunyikan darinya. Dan malam ini rindu itu pecah sebab aku tak lagi kuasa untuk membendungnya. Aku benar-benar merindukan dia! Tapi aku terlalu egois untuk sekedar mengatakan padanya bahwa aku tak sanggup jika harus terus-terusan membiarkan rindu ini beku”.

“Kasihan dia, pasti capek banget ya?” Ucap Reza sambil menggandengku, berjalan menuju sepeda motor yang diparkirkannya didepan sana. Aku tersenyum – manja.
“Dia udah makan?” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Belum” Jawabku singkat
“Kita mau langsung pulang atau beli makanan dulu?” Tanyanya. Sebenarnya aku tidak lapar, karena mataku jauh lebih kantuk daripada rasa lapar yang ada. Tapi rasanya aku tidak rela jika malam ini akan berlalu terlalu cepat. Rinduku masih menggumpal, dan aku masih ingin menyematkan waktu lebih lama lagi dengannya.
“Kita beli makan saja yuk” Ajakku.
“Oke”

Reza mulai menstarter sepeda motornya. Dua ban keretanya mulai melaju berkejar-kejaran. Aku melingkarkan tanganku dipinggangnya. Lebih erat dari biasanya. Kusandarkan kepalaku dibahunya – manja!
Sesekali aku masih sempat merasakan Reza menggenggam jemariku erat disela-sela ia mengendarai motornya. Yach, masih membekas diingatanku walaupun Reza masih kelihatan ragu-ragu untuk hanya sekedar menggenggam jemariku. Mungkin dia terlalu menjaga diriku, juga segala tentangku – tentang kami.
Dingin angin malam semakin terasa nyeri di sum-sumku, namun kerinduan yang hampir kering itu masih sangat haus oleh pertemuan singkat ini. Rasa kantuk yang tadinya seakan mengapit dua bola mataku, akhirnya hambar dihempas rindu.
**
Tak lama kemudian akhirnya kami pun sampai disebuah rumah makan yang menjual sate padang. Reza memesan satu porsi untukku, tapi dibungkus. Setelah itu kami pun kembali pulang. Sepanjang jalan menuju kostku, ada dawai yang seakan bersenandung lagi.
Akh, seandainya bisa kuhentikan waktu – sejenak! Aku ingin malam ini berlalu lebih lama dari biasanya. Aku ingin rindu ini pecah pada sebuah akhir yang indah.
**
Ternyata ada rindu yang diam-diam menikamku. Padahal aku telah berusaha untuk menguburnya dalam-dalam, namun saat bertemu dia lagi, aku sungguh tak punya kendali walau untuk sekedar menahan gejolak itu.
**
Malam masih akan berlalu lama lagi setelah Reza mengantarku pulang. Sambil membiarkan tubuhku terbaring pada sebuah kasur, mataku menatap langit-langit kamar yang sebenarnya itu-itu saja, tak ada yang berubah sedikitpun, dengan tatapan yang erat. Aku seolah menemukan sosok bayangan disana. Ada Reza yang membayang diingatanku, lalu membias pada suatu sudut diruang kamarku.
Aku tersenyum saat kusadari ternyata bayangan itu hanya ilusi. Dan ketika sebuah pandangan tertuju pada seonggok PC yang letaknya di sudut dekat pintu itu, aku langsung bangkit dari kasur dan langsung menyalakan tombol power di CPU, kemudian dilanjutkan lagi dengan menekan tombol on pada dekstopku.
Rangkaian kata mulai curah pada tiap lembar aplikasi Microsoft word. Disana ada banyak kata yang mengalir deras tak terbendung. Disana ada sebuah fakta yang sengaja kurangkaian dengan ilusi. Dan disana ada sepasang rindu yang beku disudut waktu. Aku merangkaikan semuanya dengan bahasa, juga cerita yang alurnya kumulai pada suatu pertemuan malam itu.
Jika sahabatku bicara pada percakapan senja, aku justru bicara tentang rindu ditengah malam yang hening. Rindu yang akhirnya pecah dan melukiskan warna merah merona diwajahku. Akh, rindu!



*end.


Keterangan:
*dia = sapaan/panggilan akrab sebagai pengganti nama.
*percakapan senja = cerpen sahabat dalam forum Artefak yang dibukukan secara bersamaan dengan cerpen penulis yang berjudul ‘Digerbang Penantian’ oleh Laboratorium Sastra Medan.

Jumat, 09 April 2010

Cinta itu buta

Cinta itu buta

Oleh : Erny wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Keringatku mengalir bagai mengucur deras dari setiap pori-pori tubuhku. Kutelan ludah dalam gumpalan kesal yang tak menentu. Hatiku meringis, menangis tak mampu bersuara. Kutarik nafas dalam-dalam dan mencoba membuang seluruh kesal yang berkelana menghantuiku. Badanku seketika terasa lemas bagai tak bernyawa.

Sungguh! Ini terlalu sakit, tetapi aku bersyukur akhirnya aku mengetahui siapa orang yang selama ini kubanggakan. Siapa lelaki yang sejauh hari ini dengan setia menemani hari-hariku. Siapa lelaki yang mencoba menepis kesunyian dinuraniku. Bathinku keluh – dadaku terasa sesak – hampa!

Facebook! Entah udah berapa kali aku menemui kekasihku bermesraan dengan perempuan lain lewat kata-kata via facebook dan sms di hp nya. Dan hari ini aku menemuinya kembali! Aku mendapati kekasihku mengirim message via facebook kepada seorang wanita yang berinisial “Cinta”. Aku tak mengerti siapa perempuan itu, tetapi yang jelas aku kecewa karena ternyata selama ini dia mengkhianatiku, walau aku sendiri tak tahu pasti apa maksudnya mengirimkan pesan seperti itu pada perempuan bernama cinta.

Meski rasanya sakit, tetapi aku bersyukur akhirnya aku tahu siapa dia sebenarnya. Selama ini aku mengira bahwa semua kata-kata “Love You” yang pernah di ucapkannya padaku hanya semata-mata untukku. Tetapi ternyata tidak! Ada sosok lain yang juga mendapatkan kata-kata yang sama seperti yang pernah dan sering kudapatkan darinya. Aku kecewa tapi mungkin inilah jalan yang terbaik yang Allah tunjukkan untukku. Cinta memang tak selamanya harus memiliki, dan hakikat cinta dengan keinginan untuk memiliki itu berbeda.

**

Aku mencoba menahan gejolak emosi yang membabi buta direlungku, tetapi aku tak bisa. Aku tak tahu pasti apa yang kulakukan ini benar atau tidak, tetapi yang jelas aku tak ingin lagi berlarut-larut memikirkan dia. Jika cinta mata ia akan menunjukkan jalannya sendiri, tetapi jika semua adalah kepalsuan, cepat atau lambat pun pasti akan terbongkar. Tuhan punya cara tersendiri untuk menunjukkan siapa yang sebenarnya mencintaiku dengan hatinya, dan siapa pula yang hanya ingin mempermainkanku. Yach! Karma itu tetap ada, walau seringkali kita berusaha memungkirinya.

Kini aku baru sadar betapa agungnya jadi seorang yang dicintai daripada harus mempertahankan orang yang kita cintai, tetapi tak mencintai. Aku bukan sang peramal hati, aku juga bukan paranormal yang mengerti isyarat hati atau sekedar membaca lambang-lambang kabur dimatanya.

**

Aku seringkali menutup diriku, menutup apa yang kurasakan. Memendam keraguan dan tanda Tanya yang sebenarnya ingin kuungkapkan. Tetapi aku tak punya nyali walau sekedar hanya untuk mengatakan bahwa ‘aku cemburu!’.

Mungkin ini tak adil bagiku. Disaat aku ingin belajar mencintai – cinta itu justru penuh kepalsuan! Aku pernah menyakiti hati yang tulus dan sungguh-sungguh ingin menjagaku, tetapi aku pelan-pelan melepas ikatannya dengan berbagai alasan. Dan hari ini, saat aku ingin cinta yang sesungguhnya, cinta justru menghilang bagai bersembunyi dibalik kabut yang kelam.

**

Hari ini kusaksikan didepan cermin – dikamarku, airmataku berlinang lagi, menetes bagai tak kenal dimana muaranya. Ia tumpah bagai air hujan yang deras. Aku tak kuasa membendungnya. Dadaku sesak saat kuingat kejadian siang tadi di warnet.

Diary..

Kenapa Reza tega melakukan itu padaku?

Selama ini Reza hanya mengucapkan kata-kata ‘Love You’ untukku – pacarnya, tetapi ternyata tidak! Ada perempuan lain yang juga ia katakana ‘Love You’. Entah itu hanya iseng atau sekedar bercanda baginya, namun bagiku itu tak layak dijadikan bahan canda’an.

Jika kata-kata itu terlalu mudah ia ucapkan kesemua orang, berarti tak lagi agung seperti yang ada dalam pemikiranku lah kata-kata itu.

Tuhan,

Terima kasih engkau tunjukkan aku cara untuk mencari jati diriku dihati Reza. Mulai hari ini aku titipkan rindu hanya untuk-MU. Aku terlalu cengeng jika harus menangis hanya karena Reza, aku terlalu bodoh jika harus cemburu pada orang yang mungkin salah kutitipkan cinta. Pada orang yang mungkin tak pernah mencintaiku.

Selepas menuliskan sepenggal kata-kata dalam diaryku, akupun membaringkan tubuhku ke tempat tidur. Kulemparkan pandangan dalam semunya malam yang larut diantara pendar kaca hatiku yang retak bagai puing yang berantakkan.

Hatiku meringis, tetapi aku mencoba tersenyum. Mungkin kini urat cemburuku telah putus. Atau bahkan mungkin pula hatiku yang telah beku karena kepalsuan yang selama ini ia sembunyikan. Bagai bangkai seekor anjing, meski ditutupi diruang hampa sekalipun, baunya pasti cepat atau lambat akan tercium.

**

Jarum jam menunjukkan angka pukul sepuluh malam, Reza menelphonku. Kami ngobrol ini dan itu. Dimulai dengan obrolan ringan, namun berakhir pada suatu perbincangan serius.

“…………..”

“Love You” Ucapnya via telphon dari seberang sana. Mendengar kata-kata itu hatiku berontak.

“Dia jangan pernah bilang kata-kata itu ke wiwit lagi ya?” Pintaku.

“Kenapa? Memangnya salah ya kalau Reza ngomong gitu ke dia?” Tanyanya kembali. Aku mendesah pelan, hamper tak terdengar.

“Ya! Salah jika dia mengatakan itu pada semua perempuan. Salah, jika dia pikir dia bisa membodohi wiwit hanya dengan kata-kata seperti itu”. Ucaku yang emosinya hamper sampai di ubun-ubun.

“Tolong jelasin ke Reza Wit? Apa maksudnya?”

“Untuk apa?”

“Agar Reza mengerti dimana salah Reza”. Ucapnya.

“Wiwit tidak suka dia ngucapin kata-kata Love You lagi ke Wiwit, kalau lah kata-kata seperti itu bukan hanya dia ucapkan untuk Wiwit. Selama ini Wiwit kira dia hanya mengucapkan kata-kata itu untuk Wiwit, tapi ternyata tidak, ada perempuan lain yang juga dia ucapkan seperti itu”. Jawabku. Belum lagi dia sempat mengeluarkan kata-kata, aku langsung menyambung ucapanku “…kalau dia berniat ingin membagi cinta, dia salah orang!” Ucapku.

“Reza gak pernah ngomong seperti itu pada perempuan manapun kecuali dia, kecuali Wiwit dan Chaca – adik sepupu Reza”. Jawabnya. Aku tersenyum kecut, sangat kecut malahan.

“Chaca? Memangnya Chaca yang sekecil itu bisa jadi perempuan kelahiran ’90 ya?” Sindirku.

“Wit, masak sich sama Chaca pun dia cemburu?” Tanyanya.

“Wiwit gak cemburu! Sama sekali tidak, walaupun awalnya iya”. Ucapku.

“Reza gak pernah ngucapin cinta sejak jadian sama dia ke orang lain kecuali adik Reza – Chaca”. Batahnya lagi.

“Udahlah, hal yang udah benar-benar Wiwit tahu saja pun dia masih bisa menyangkal, bagaimana dengan hal yang sama sekali tidak Wiwit tahu?” Keluhku. “Wiwit kecewa sama dia..” Lanjutku.

**

Siang itu mentari masih malu-malu menampakkan cahayanya. Ia membiarkan biasan sinarnya mengikis kesepianku. Tiba-tiba Reza datang menghampiriku saat aku sedang duduk disalah satu kursi – dikantin kampus.

“Hai…” Sapanya sambil merangkulku dari belakang. Aku membalas sapaannya dengan senyuman.

“Darimana?” Tanyaku. Dia tak menjawab pertanyaanku, melainkan menawarkanku sebuah coklat chocolates kesukaannya.

“mau coklat?” Tanyanya sambil menyodorkan chocolates padaku. Aku mengangguk, dan dia pun memberikanku sebatang coklat itu untukku.

Entah kapan awal pertamakali Reza memberiku coklat, tetapi yang jelas sejak saat itu aku jadi menyukai coklat! Yach, coklat jenis apa saja – asal Reza yang memberikannya.

Sulit untuk menepis perasaanku ke Reza walaupun aku tahu mencintainya kerapkali membuat hatiku sakit. Aku tahu cinta memang tak selamanya harus bersama, tetapi aku masih ingin bersama Reza, melukiskan kisah hidupku pada scenario hidup yang kuukir lewat kanvas impianku.

**

Tak jarang aku dan Reza sering salah paham, cemburu dan entah apalagi sejenisnya. Aku sering menangis karenanya, namun akupun sering tertawa karenanya. Mungkinkah inilah cinta yang harus kumengerti, yang mestinya kupahami.

**

Senja mulai tampak kemerahan di ufuk barat, sekumpulan bangau pelan-pelan mulai berarak kesarangnya. Kusaksikan langit petang yang terbias cahaya kuning keemasan. Inilah peristiwa senja – senja yang akan menutup lembaran cerita hari ini dan menggantinya dengan cerita baru untuk kisah-kisah berikutnya.

Boneka beruang! Aku memeluknya erat-erat, dulu Reza pernah memberikanku boneka beruang ini saat kami jalan-jalan kesebuah toko Boneka, dan dia memberikanku Boneka beruang ini. Sudah lama aku menginginkan Boneka ini – aku sengaja mengumpulkan sebagian uangku untuk membeli Boneka ini, tetapi kini aku telah memilikinya.

Banyak kisah yang tertuang dari saksi bisu hidupku. Dari venesia – yang selalu mengetahui setiap tetes airmataku yang kerapali jatuh saat aku menahan sakit yang teramat sangat. Dari kodok – yang menjadi saksi saat aku keliling kota medan bersama bang Dhani untuk mencari rumah kostan. Rabbit – yang menjadi saksi saat satu valentine Bambang memberikannya untukku. Dan Donald Bebek – yang kubeli disalah satu malam saat aku berada di mall untuk menghilangkan penat yang membara dibenakku.

**

Ingin kutulis banyak cerita tentang hari ini, kemarin dan esok, namun jemariku telah lelah – jarum jam memaksa mataku untuk sekedar terlelap sebentar. Ku shut down komputerku, akupun menarik selimut tebalku, lalu selanjutnya memejamkan mataku agar aku bias menjemput harapanku lewat mimpi-mimpi indah dalam rangkaian imajinasiku.

Aku berharap kelak suatu hari nanti aku bias menemukan cinta – yach! Cinta yang tidak sekedar ingin mempermainkanku, tetapi cinta yang benar-benar bersedia ada untukku – menemani hari-hariku, menepis keluh dan kesah yang terbenam di asaku.

**

Sejauh hari ini aku tak pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Reza benar-benar menduakan cinta pada perempuan lain, tetapi entah berapakali sudah aku mendapati kata-kata mesra di hp nya dari seorang perempuan yang tak kukenal. Dan baru kemarin aku membaca send message di facebooknya, disana tertulis ‘6 January 2010’ ada sebuah item terkirim yang sengaja dikirimnya kesalah satu teman facebooknya. ‘Love You’ begitulah isi pesan singkat itu.

Ya! Singkat dan jelas. Bagai diiris sembilu perihnya hatiku saat itu. Aku menangis dalam hati – tak pernah menyangka Reza tega melakukan itu dibelakangku. Airmataku ingin tumpah, tapi tak jatuh! Ia menggenang dipelupuk mataku, membentuk gelombang-gelombang kehancuran yang tak pernah kuharapkan.

Kini aku mengerti bahwa cinta hanya pura-pura, kini aku paham cinta itu tuli – aku tak mau tahu, aku tak mendengar semua penilaian orang tentang Reza, yang kudengarkan adalah isi hatiku, isi hati yang mengatakan bahwa aku mencintainya. Cinta itu buta – walau kerapkali aku merasa sakit karenanya, namun aku buta! Aku tak mampu melihat cinta yang lain, aku menutup hatiku untuk setiap cinta yang datang, semua hanya untuk mempertahankan hatiku pada Reza.

*end.

Di Diaryku

Di Diaryku

Oleh : Erny wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Saat kau memilih untuk mengakhiri semuanya, tahukah kau betapa pedihnya hatiku? Saat kau memutuskan untuk kita saling jalan masing-masing, mengertikah kau betapa kecewanya aku? Sungguh! Ini terlalu berat bagiku kasih.

Selama ini yang ku tahu kau selalu ada untukku, kau selalu memberiku motivasi, menghapus setiap tetes airmata yang kerapkali terjatuh dari pelupuk mataku. Tapi hari ini yang kusaksikan, hari ini yang kusadari bahwa kau tak lagi disini. Semua antara kita telah berakhir setahun yang lalu. Mungkin kau pernah mengira bahwa aku telah lupa semuanya, tetapi tidak! Kau dan segala tentang kita tetap ada diingatanku, meski waktu memilihkan jalan bagi kita untuk menempuh hidup pada jalurnya masing-masing.

Masih terlalu nyata diingatanku saat kau menjadikanku ratu dihatimu. Saat kau genggam erat jemariku, saat kau menjagaku hingga aku bosan.

Yach, aku yang dulunya pernah mengira bahwa semua yang kau lakukan terlalu berlebihan, terlalu overprotective, tapi hari ini aku sadar bahwa semua karena kau sangat menyayangiku. Mungkin dulu aku buta – tak bisa melihat arti cinta yang kau isyaratkan, mungkin dulu aku tuli – tak mendengar deru ketulusan dihatimu. Yach, kini aku mengerti semua itu.

**

Waktu memang tidak akan kembali lagi, walau sedetik pun. Tapi ijinkan aku mengenang semua yang pernah ada antara kita. Biarkan aku meneteskan kembali airmataku, meski tak akan pernah ada lagi jemarimu yang kelak akan menghapusnya.

Senja mulai melukiskan warna-warni di aksara langit sebelah barat. Ada warna merah disana, pertanda petang segera menjelang. Sambil membiarkan angin sore menyapaku ramah, kualunkan kanvasku dan kubiarkan kuasku melukiskan coretan-coretan menyerupai wajahmu.

Aku yang telah memilih untuk melanjutkan study di kota ini. Aku yang telah memilih untuk meninggalkan cintaku ditanah seberang. Dan kini aku pulalah yang harus menerima kenyataan bahwa kau bukan milikku lagi seperti dulu – seperti waktu itu. Entah kapan kau akan bersedia menjemputku distasiun lagi seperti waktu itu – disaat kita masih pacaran. Entah kapan lagi kau akan menemani kesunyianku lewat dering via telphon, entah kapan lagi sms mu akan mengisi inbox ku. Akh! Kurasa aku hanya bermimpi! Karena kini aku bukan gadis mungilmu lagi.

“Aku seperti mengenali wajah dalam lukisan itu Re,” Ucap Toni yang tiba-tiba dating. Aku tersentak, terkejut dengan kedatangannya. Lalu aku tersenyum.

“Wajah itu adalah wajah yang pernah kamu lihat di dompetku dulu”. Jawabku singkat sambil terus memberikan efek warna abu-abu pada lukisanku. Toni tak berkomentar, tapi aku yakin dia bukan seorang yang amnesia, aku yakin dia hanya pura-pura pikun.

“Masih mencintainya?” Tanya Toni tiba-tiba. Seketika mataku langsung melotot memandangnya.

“Bisa aja kamu Ton”. Kilahku.

Toni pun duduk disebelahku. Dipandanginya setiap gerak tanganku yang menempel pada kanvas tersebut layaknya seorang komentator.

“Re, nanti malam kita hangout yuk bareng teman-teman yang lainnya”. Ucap Toni. Aku mengangguk tanda setuju.

“Nanti malam ada taruhan ya?” Tanyaku.

“Ya, kita main sama genk kobra dan naga”. Jawab Toni.

“Oke”.

Begitu langit telah melukiskan warna kelabu disenjanya malam, aku dan Toni pun bersiap-siap menuju arena perkumpulan seperti biasanya. Begitu kami sampai, ternyata disana telah berkumpul segerombolan remaja seusia kami. Aku langsung menyapa mereka ramah. Semuanya laki-laki, terkecuali aku.

“Hei, kamu Rere kan?” Tanya salah satu cowok dari genk kobra. Aku mengangguk, pria itu menyodorkan tangannya aku menyambutnya.

“Aku Reza” ucapnya

“Rere”. Jawabku

“Ya, aku sudah tahu. Toni banyak cerita tentang kamu”.

“Toni?” Seruku pelan seraya mengerutkan dahi. Dia mengangguk.

“Toni bilang kamu adalah pelukis yang hebat”. Ujarnya. “Dan dia juga bilang kamu adalah pembalap yang handal”. Sambungnya. Aku tertawa geli mendengar semua deskribsinya tentangku.

**

Aku dan teman-teman yang lainnya duduk-duduk di café Putri sambil menikmati hidangan makan malam bersama. Suasana yang hangat! Yang sangat kurindukan. Yach, sudah lama kami tidak berkumpul seperti ini, apalagi disaat kami saling sibuk dengan rutinitas perkuliahan yang tak menentu, yang banyak menyita waktu.

Iringan music pop dan serunai biola yang dimainkan oleh kru café membuat suasana malm di café ini semakin lembut, nyaris tak sadar bahwa jarum jam telah menunjukkan angka pukul setengah sebelas malam.

“Sudah jam setengah sebelas, jadi kita balapan?” Tanya Rey, salah seorang dari genk naga. Kami semua mengangguk.

Usai melunasi administrasi pembayaran, kami pun langsung bersiap-siap menuju aren atempat biasanya kami melakukan balap liar.

Entah sejak kapan aku mulai meminati dunia ini, yang jelas saat pertama kali terjun ke dunia balap, aku langsung jatuh cinta padanya. Bagaiman tidak, disinilah aku bisa menikmati indahnya dunia tanpa beban, tanpa pernak-pernik masalah. Disini aku bias menikmati belaian angin yang seolah bernyanyi merdu untukku.

Saat teman-teman yang lain sibuk mempersiapkan diri dengan segala sesuatunya sambil menunggu jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam, aku duduk bersandar disebuah batu besar yang ada disamping sepeda motorku. Kubiarkan pandanganku melayang jauh entah kemana, menatap langit kelabu dengan tatapan kosong. Sebuah ingatan tentang Heru – mantan kekasihku kembali membayangiku. Entah karena mala mini aku sangat merindukan dia atau justru karena dial ah yang merindukanku, yang jelas bayangannya begitu nyata mnghantuiku.

**

Toni menghampiriku, dirangkulnya bahuku sambil menyandarkan kepalanya dikepalaku – seperti biasanya.

“Kamu kenapa Re?” Tanyanya padaku. Aku tesenyum tipis, lalu menggeleng.

“Kamu ragu-ragu untuk pertandingan ini?” Tanyanya.

“Tidak”

“Lalu?”

“Aku merindukan Heru”. Jawabku malu-malu, lalu beranjak dari dudukku. “Udahlah, mungkin karena sudah lama tidak ketemu saja. Yuk kita mulai balapan, sudah pukul dua belas”. Ucapku. Tanpa berkata paapun lagi, Toni langsung berdiri dan membarengi langkahku.

**

Tepat digaris start kami pun telah siap untuk melakukan balapan ini. Udara malam yang semakin dingin seakan tak lagi terasa karena tubuh kami dibalut oleh jacket kulit yang super tebal.

“Kamu yakin kan Re?” Tanya Toni memastikan bahwa aku baik-baik saja. Aku mengangguk.

“Kamu gak usah takut, aku baik-baik saja”. Jawabku

“Re, hati-hati”. Tambah Reza yang tepat berada disisi kiriku. Aku mengangguk.

Tak lama kemudian kami pun melaju dengan kecematan diatas rata-rata. Semua terasa ringan, seperti dunia hanya milik kami. Suara teriakan seakan lepas dari masalah-masalah hidup yang selama ini membelenggu terngiang bak memecah langit dan kebisuan malam.

Aku dan teman-teman menikmati suasana ini – sangat menikamti malahan! Malam yang indah walau tanpa harus kami lalui dengan orang-orang tercinta, karena toh ternyata kami adalah jomblo-jomblo yang belum memiliki pasangan alias pacar.

**

Tepat di garis finish aku meng-rem sepeda motorku., lalu kemudian Toni dan Reza pun menyusul dibelakangku, diikuti dengan teman-teman yang lainnya.

“Kamu hebat Re!”. Ungkap Toni bangga. Aku tersenyum.

“Aku tidak menyangka ternyata kamu lebih hebat dari apa yang kubayangkan!”. Tambah eza.

“Terima kasih”. Jawabku.

Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua malam. Ukuran yang sudah lama tak menjadi kebiasaanku untuk berada diluar rumah. Aku melepas helmku. Mataku berkunang-kunang, dari hidungku keluar cairan berwarna merah – darah!

“Re, kamu sakit?” Tanya Toni.

“Tidak”. Jawabku seraya menggelengkan kepala.

“Kamu sakit itu Re”. tambah Reza seraya merangkulkan tangannya dipundakku dan mengajakku duduk disebuah kursi kayu yang tidak jauh dari tempat kami memarkirkan sepeda motor.

“Minum dulu Re”.ucap Toni sambil menyodorkanku sebotol aqua. Aku langsung meminumnya. Sementara Reza membersihkan darah yang keluar dari hidungku.

“Terima kasih”. Ucapku setelah Reza selesai membersihkan hidungku yang berdarah dengan scraft nya.

“Aku antar kamu pulang Re, Yuk” Ajak Toni sambil menuntunku hingga kesepeda motornya.

Roda sepeda motor Toni pun saling berkejar-kejaran. Aku meletakkan kepalaku dipunggungnya, kedua tanganku merangkul Toni erat. Tubuhku nyaris seakan tak berdarah lagi. Untuk sekedar duduk diatas sepeda motor saja pun rasanya aku tak kuat. Akhirnya ditengah perjalanan, aku meminta Toni menghentikan sepeda motornya, sementara Reza dan rombongan yang lainnya pun ikut berhenti.

“Ton, aku tidak kuat lagi”. Ucapku pada Toni, sahabatku itu. Belum lagi Toni sempat berkata apa-apa, tiba-tiba saja aku langsung jatuh pingsan. Semuanya panic.

**

Entah apa yang selanjutnya terjadi semalam, yang jelas ketika aku terbangun dari ketidaksadaranku, aku sudah berada di rumah sakit. Tali-tali infuse menusuk lenganku. Dan disaat aku terbangun tak ada seorang pun disini, hanya setangkai mawar putih yang tergeletak diatas meja, disamping segelas air putih dan obat-obatan. Aku mengambilnya, lalu membaca sebuah surat yang berada tepat disebelahnya.

Untuk Rere.

Jika malam telah larut dan kesunyian memaksaku untuk merindukanmu, ijinkan kulukiskan bayanganmu dimimpi-mimpiku. Jika senja kelak berlalu, ijinkan ukir namamu dihatiku, agar jika langit kelam, kau tetap ada bersamaku.

Maafkan aku Re, aku terpaksa mengungkapkan semua ini. Aku tidak tahu bagaimana caranya lagi menyembunyikan perasaanku padamu. Setiapkali emlihat tetes airmata dipipimu, rasanya hatiku retak, remuk berantakan. Dan setiapkali kau bercerita tentang pahitnya cinta yang pernah kau lalui, rasanya aku ingin berontak. Meski tak mungkin.

Re, aku tak tahu bagaimana perasaanmu terhadapku, dan akupun tidak akan pernah mmaksakanmu untuk menjadi milikku, karena ku tahu mencintaimu tak berarti harus memilikimu. Mencintaimu tak berarti harus menjadikanmu pacarku.

Kepakkanlah sayap indahmu menggapai mimpi-mimpimu Re..

Tapi jika nanti kau lelah, ingatlah ada aku yang bersedia menantimu disini.

*Toni.

**

Usai membaca surat singkat itu, aku langsung mengambil hape-ku dan menekan serangkaian angka-angka yang ada di keypadnya.

“Iya, Re?” Sapa Toni dari seberang sana.

“Toni, kamu kasih aku mawar putih ya?” Tanyaku. Lama Toni tak menjawab pertanyaanku, sampai aku menanyakan kembali pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya.

“Maafkan aku Re, aku……..” Ucap Toni putus-putus.

“Terima kasih ya Ton”. Potongku.

“Kamu marah Re?” Tanya nya.

“Aku marah, jika kamu tidak ada disini menemani aku”. Jawabku

“Oke, aku kesana sekarang ya?”

Tak lama kemudian Toni pun dating dengan nafas yang terengah. Dihampirinya aku yang masih terbaring diatas tempat tidur.

“Ton, aku tidak kuat lagi menjalani kehidupanku”. Ucapku

“Re, demi orang-orang yang saying sama kamu, demi orang-orang yang kamu sayangi, bertahanlah”. Pintanya.

Aku menyodorkan sebuah diary berwarna hijau muda pada Toni. Toni mengambilnya dari tanganku. Lalu, sejenak setelah itu akupun menghembuskan nafas terakhirku.

Kubiarkan ragaku tertinggal diatas pembaringan rumah sakit ini. Kulihat bibir Toni yang gemetar tanpa kata-kata. Setetes luluh jatuh berderai membasahi pelupuk matanya. Dipeluknya tubuh kakuku yang tak lagi bernyawa itu erat-erat. Seakan tak rela melepas kepergianku.

“Kenapa kamu harus pergi Re? padahal aku sangat menyayangimu”. Ucapnya setelah menyadari bahwa tubuh kaku yang ada dihadapannya itu tak lagi aku – melainkan seonggok mayat beku yang tak lagi bisa berkata-kata, yang tak lagi bernyawa. Lalu sejenak kemudian setelah itu dibukanya diaryku, tepat dihalaman terakhir.

Diary..

Jika Heru tak lagi milikku, ijinkan aku mengubur semua kenangan tentangnya dalam-dalam dihatiku, agar rasa pedih itu tak lagi terasa olehku. Dan jika boleh cinta itu datang lagi, aku ingin Toni yang menggantikannya. Walau ku tahu itu tak mungkin.

**

Itulah halaman terakhir dari diaryku. Meski tak sempat terucap oleh bibirku bahwa aku juga mencintainya, tapi kuharap tulisan yang lama kugoreskan itu akan dapat memberitahu pada Toni bahwa selama ini akupun menyimpan perasaan yang sama.

*end.