Selasa, 28 Desember 2010

Seandainya aku Harus Jujur

Hari ini izinkan kuperkenalkan serangkaian kisah yang pernah singgah dalam hidupku. Kisah sedih juga bahagia yang semuanya mungkin akan menjadi bait nostalgia jika suatu saat nanti umurku jauh berlabuh. ^_^
--
Tidak ada kenangan yang tak berarti yang kalian tuliskan di diary hatiku. Kalian adalah bagian yang saat ini menjadi kepingan puing yang kian rapuh - tapi kisah yang pernah ada membuatku sadar akan indahnya mencintai & dicintai. Kasih sayang yang kalian torehkan dengan tulus, menjadikanku tegar meski terkadang aku harus berulangkali menahan rasa sakit yang kerapkali kusangka akan mengambilku dari kalian.

akan kumulai kisah ini dari sajak di MTs..* ---------------------------------------------------------
Aku mulai menyimpan perasaan (suka) saat u sering titip pesan untukku lewat teman-teman di kelas. Awalnya memang semua biasa saja. Tidak ada yang spesial -- termasuk perasaanku ke u . Tapi entahlah, aku mengagumimu waktu itu! aku mengagumi prestasimu, aku mengagumi caramu bertindak -- ada yang berbeda saat itu.

SMP..
mungkin membuatku tak berani mengungkapkan apa yang kurasakan. aku berusaha menyembunyikannya dari semua orang! termasuk kamu. Aku gengsi kalau ada yang tahu bahwa aku juga diam-diam tertarik padamu. Tapi tahu kah kau, sampai aku memutuskan untuk melanjutkan sekolah di kisaran pun perasaan itu masih ada. Aku tidak pernah pacaran (lebih tepatnya tidak pernah mau membuka hati untuk berpacaran) karena aku ingin sekali kamu yang jadi pacarku.

... (setelah lama berpisah)
----------------------------------
Setelah lama tak pernah bertatap muka lagi, tepatnya setelah kita sama-sama lulus dari MTs, kita kehilangan contact..
pernah suatu hari kutitipkan salam untukmu pada sahabat kita (sri rahayu), tapi itupun tak berhasil membuat kita tetap berkomunikasi. entahlah..*

Suatu hari aku menemukan alamat fb mu..
aku senang, meski akhirnya aku harus tersenyum - lega, bahwa kamu tidak sendirian. aku senang!! Bahkan tetap senang karena akhirnya aku bisa melihatmu lagi. Aku memang pernah mencintaimu, tapi itu dulu - jauh sebelum hari ini. Dan hari ini perasaan itu telah berbeda.
Aku tetap ingin dekat denganmu, tapi untuk menjadi sahabatmu - bukan kekasihmu.*


Selanjutnya di SMU Diponegoro...
----------------------------------------------
Sebut saja namaku Erny -- aku yakin kalian mengenalku. Kalian tahu apa yang sehari-hari harus aku lakukan, apa yang selalu membuatku tersenyum. Tapi ada satu hal yang kalian tidak tahu.
Yah!!
1 hal yang mungkin tidak pernah kalian sangka-sangka. Tentang Cinta.

Maaf sebelumnya, aku tak bermaksud apa-apa, hanya saja aku ingin bercerita sebelum waktu berlalu membawaku dari kalian. aku ingin kalian tahu sedikit saja tentang kisah cintaku.

(wewe.............)
---------------------
Aku gak ngerti kenapa kamu menamai dirimu itu wewe. sungguh!! kebanyakan cowok yang aku kenal sebelumnya selalu menamai dirinya sekeren mungkin -- tapi kamu tidak!

awalnya tidak ada yang menarik memang, hanya saja saat itu kamu menghiburku dengan gurauan-gurauan kecil saat aku sedang duduk menunggu jemputan.

.... waktu itu, aku sedang sakit-sakitan dan aku sendiri gak yakin aku mampu bertahan lebih lama lagi. Saat kamu datang menawarkan kasih sayang, aku ingin segera meraihnya. Meski kita Backstreet..*

wewe adalah pacar pertamaku, meski bukan cinta pertamaku. Wewe datang saat aku sedang menjalani kegundahan hati yang tak karuan. wewe memberiku banyak hal tentang seni. Banyak benda-benda kreasi tangan wewe sendiri yang diberikan untukku. Aku masih menyimpannya sebagian we.

Aku mutusin wewe saat dia memilih untuk kembali ke Aceh. Aku gak mau pacaran long distance..**
dan sampai hari ini aku tidak pernah tahu lagi tentang wewe. Aku kehilangan nomor contact nya, aku kehilangan semua orang yang bisa kuhubungi untuk kutanyai seputar wewe. Bahkan yang sangat kusesali, aku juga tidak tahu siapa nama lengkap wewe sebenarnya. Aku sungguh tidak tahu apa-apa mengenai wewe. Aku hanya tahu wewe tinggal aceh - takengon. Itulah sebabnya, jika mendengar kata takengon, ingatanku langsung tertuju pada wewe.

Wewe juga adalah orang yang pertama yang memanggilku Wirda. Aku suka panggilan itu.*


Selanjutnya di STMIK IntelCom Global Indo Kisaran...
------------------------------------------------------------------------
Seharusnya kusampaikan terima kasih untukmu Kak.. ^_^
Kasih sayang yang kakak berikan tidak cukup dibayar dengan apa pun. Perhatian & Ketulusan kakak yang terkadang salah er artikan. Kakak begitu banyak ambil peranan dalam hidup er. Banyak suka duka yang kita jalani selama kurang lebih 1 tahun. Meski awalnya er hanya ingin berteman dengan kakak, tapi lama kelamaan er sadar bahwa ada orang yang menyayangi er.

er merasa seperti ratu waktu bersama kakak. Kakak memperlakukan er layaknya putri raja. Apa pun kakak kasih ke er selama itu bisa membuat er senang dan tidak mengganggu kesehatan er.

entah lah, er gak tahu harus cerita apa, yang jelas er hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk semuanya kak..* semua kebaikan kakak, semua kasih sayang kakak & juga orang tua kakak. :-)

Kak,
Sekarang er udah punya seseorang... er sayang sama dia!! & er yakin kakak juga pasti udah punya pengganti er.*


STMIK Mikroskil
------------------------

Q hanya berharap,
q tidak salah menitip kan hatiku padamu..

^_^




Selasa, 16 November 2010

10 Hal Tentang Wanita Untuk Prianya... Sikap dan prilaku wanita dan apa yang dia pikirkan...

1. Genggamlah tangan kami ketika menyebrang jalan.
  • ketika kalian tidak menuntun kami saat menyebrang, kami yang akan memegang tangan kalian, bukan karena kami wanita manja, itu karena kami menghormati kalian sebagai seorang pelindung untuk kami .
  • jangan lepaskan genggaman kami, karna itu menyakitkan, maka kami tak akan menggenggamnya lagi .

2. Cium kening kami saat akhir pertemuan, itu lebih baik dari seribu ciuman di bibir.

  • kami akan merasakan kehangatan disana
  • jika kalian berlalu begitu saja saat akhir pertemuan, percayalah .. ada luka di hati kami !

3. Tatap mata kami saat kami sedang berbicara, maka kami akan lebih memperhatikan kalian

4. Saat kami memberi perhatian lebih, jangan acuhkan kami seakan kamilah sang pemuja.

  • balaslah perhatian kami selayaknya kami memperhatikan kalian. .
  • ketika kalian acuh atas perhatian kami, mungkin kami akan jenuh memperhatikan kalian. Jangan salahkan kami !

5. Ucapkanlah terima kasih, sekecil apapun yang kami beri atau lakukan.

  • kami akan merasakan betapa berarti yg kami lakukan .
  • wanita adalah sang pemberi tanpa pamrih untuk prianya !

6. Saat kami mengatakan "tinggalkan aku sendiri"

  • janganlah kalian meninggalkan kami, karena sesungguhnya kami mengharapkan kalian tetap tinggal dan menemani kami, kalian begitu berharga bagi kami !

7. Pujilah kami saat kami merengkuh kesuksesan sekecil apapun, karena sesungguhnya kami akan merasa sangat dihargai !

8. Kendalikan kemarahan kalian saat kami melakukan kesalahan karena sesungguhnya kami ingin melihat seberapa besar kalian mengerti kami !

9. Jadikan kami pendamping, bukan parasit .

  • karena sesungguhnya kami melengkapi kepingan yang hilang dalam hidup kami, kalian bukan hanya singgah sementara waktu dan berlalu begitu saja dalam hidup kami .

10. kenalkan kami sebagai kekasih pada TEMAN kalian dan ORTU kalian .

  • Taukah kalian, kami akan menjerit bahagia dalam hati untuk hal ini !

Minggu, 29 Agustus 2010

Cerpen : Jangan Pergi Lagi

Oleh : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id


Setapak jalanan ini masih basah oleh sisa hujan tadi malam. Hawa dingin masih membius tubuh pelan-pelan. Mentari sama sekali belum menampakkan dirinya. Seperti biasanya, aku kembali menapaki jalanan ini dengan memikul keranjang di punggungku. Baru seminggu aku kembali ke kampong halamanku, menikmati rutinitas yang lama kutinggalkan sejak kuliah dulu. Sungguh! Aku rindu dengan suasana seperti ini. Suasana yang membawaku pada tawa dan keceriaan. Aku rindu pada gemercik air yang kerapkali kutapaki sepanjang perjalanan ke kebun teh milik almarhum ayah yang kini menjadi mata pencaharian ibu untuk menghidupi kami. Aku rindu pada aroma teh alami yang kami racik sendiri dengan tangan dan bumbu tradisional.

Mungkin tidak hanya itu yang membuat rinduku menggebu ingin pulang. Yach! Itu hanya sepenggal dari alasan mengapa aku harus pulang, tetapi alasan paling mendasar adalah karena sosok pria bernama Reza yang dulu pernah membuatku jatuh hati, namun kami tidak pernah menjalin hubungan yang orang-orang menamainya pacaran.

**

Empat tahun aku meninggalkan desa ini, meninggalkan sosok pria bernama Reza, meninggalkan segala rutinitas yang dulu kerapkali kulakukan. Dan hari ini aku kembali menjalani rutinitas itu lagi. Terlalu banyak yang telah berubah disini! Banyak sekali malahan.

Jalanan yang dulu kulalui sewaktu akan berangkat ke kebun hanyalah sebatas onggokan tanah yang kerapkali basah dan becek bila hujan mulai sering mengucur bumi. Tetapi sekarang, jalanan ini berubah aspal, hingga walaupun hujan kerapkali curah, kami tidak lagi harus menjinjing celana dan menjinjit-jinjit untuk menghindari becek. Reza juga berubah! Reza yang dulu selalu pergi ke kebun teh denganku – karena kebun kami berdekatan, dia yang dulu selalu menggandengku saat jalanan licin, dan dia yang dulu selalu punya waktu menemaniku bermain gitar saat bulan purnama, kini semua tidak mungkin lagi.

Rezaku telah hilang bersama waktu yang kian merenggang selama beberapa tahun silam. Bukan lagi aku yang merasakan perhatiannya, bukan lagi aku yang kerapkali digandengnya ketika jalanan mulai licin, bukan lagi aku yang selalu pergi ke kebun bersamanya, dan bukan lagi aku yang bernyanyi bersamanya saat purnama, tapi ada wanita lain yang telah mengisi hari-harinya. Wanita yang saat ini menyandang status istri darinya. Dan tidak hanya itu perih yang kutemukan dikampungku, bocah mungil yang kerapkali ditimang Reza lebih menyakitkankan bagiku. Yach! Reza telah menjadi suami dari seorang wanita yang bukan aku, dan dia juga telah menjadi seorang bapak dari seorang bocah mungil yang juga bukan lahir dari rahimku.

Seandainya sesal itu harus ada, aku menyesal tidak pernah mengungkapkan perasaan ini padanya, sedang hatiku sangat menyayanginya.

**

Terlalu perih luka yang kutemukan di desa ini. Terlau sakit rasanya saat melihat Reza – yang rumahnya tepat di depan rumahku itu – bercengkrama dengan anak dan istrinya, sedang kehadiranku kembali ke desa ini hanya untuk menjemput cintaku, untuk Reza.

Tidak ada yang tahu memang tentang perasaan ini, kecuali aku, Tuhaku, dan diary mungilku. Reza pun tak pernah tahu bahwa aku pernah mencintai dia. Mungkin, dia hanya menganggapku sebagai teman terbaiknya – bukan orang yang harus dicintai dia.

Aku terlalu nyeri berada di tempat ini. Aku tak mungkin berlama-lama membiarkan mataku melihat pemandangan yang tak meng-enakkan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kota tempat dimana aku pernah meniti ilmu selama empat tahun terakhir lalu.

**

Malam kian larut, dihuni sepi dan pekatnya gulita. Aku mengemasi barang-barangku. Sesekali luluh tak mampu kubendung, curah bagai butiran bening yang masih hangat. Seandainya aku masih bisa untuk jujur tentang hatiku, aku hanya ingin Reza tahu bahwa aku pernah mencintai dia dan masih mencintai dia, walaupun aku tahu memilikinya sudah tak mungkin lagi.

Hening semakin mencekam mendekap malam. Aku larut dalam nyanyian jangkrik dan melodi detak jam dinding di kamarku. Kubuka album kenanganku. Disana hanya ada foto aku dan Reza. Foto masa kecil, foto sewaktu smp, foto sewaktu smu, dan foto saat kami punya kesempatan untuk selalu bersama. Dulu.

Tangisku beku pada kerongkongan, lekat pada dada, namun tak tersuarakan. Aku menangis dalam diam – agar tak seorang pun tahu tentang perihnya luka di hatiku.

**

Saat matahari masih sepenggal, aku kembali menapaki kebun teh kesayangan ayahku. Aku tahu jam segini Reza pasti berada di kebunnya. Dan benar saja! Dia masih memetik daun-daun teh itu dengan jeli. Aku menghampirinya. Dia menyambutku hangat – sehangat dulu, dan itu yang membuatku semakin luka.

“Rara?” serunya saat melihatku berada di sisinya.

“Heii,,” sapaku – agak canggung.

“Duduk Ra,” Dia mempersilahkanku duduk, dan menghentikan kerjaannya.

“Za, aku mau kembali ke Medan. Aku datang kesini hanya ingin berpamitan” ucapku akhirnya

“Kenapa terlalu cepat Ra?” tanyanya. Ada sebuah Tanya yang lekat di dua matanya. “…padahal aku masih ingin bicara banyak padamu” lanjutnya. Kali ini ada sebuah kerlingan yang lekat pada matanya.

“Reza..” ucapku pelan sambil menundukkan wajah dalam-dalam.

“Ya, ada apa Ra? Katakan sesuatu sebelum kamu pergi lagi. Katakan sesuatu Ra…” Pintanya. Gemuruh bergejolak di dadaku, tapi sulit rasanya mengungkapkan apa yang kurasakan, dan apa yang ingin ku katakan. Reza menarik jemariku, menggenggamnya erat-erat, lalu mendekapnya pada dadanya yang telanjang. Aku tersentak, seraya mengangkat pandangan.

“Aku mencintaimu Ra!” ucap Reza. Aku ternganga bisu. Hiruk-pikuk perasaanku jadinya – tak tentu arah.

“Aa… apa?” tanyaku memastikan apa yang baru saja ku dengar.

“Aku mencintaimu Ra” ulangnya lagi. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi seperti dulu. Aku menunggumu empat tahun, dan menantimu kembali. Dan sekarang kamu telah kembali, lantas kenapa harus pergi lagi?”

Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang dikatakan Reza. Kehilanganku? Bukankah aku yang selama ini selalu merasa kehilangan dia? Menungguku? Bukankah aku pula yang menunggu dia diseberang sana. Kenapa harus pergi lagi? Apa dia tidak pernah merasakan betapa sakitnya hatiku saat tahu bahwa orang yang kucintai telah menjadi milik orang lain. Aku cepat-cepat melepas jemariku dalam genggamannya, lalu beranjak dari dudukku. Tapi saat aku membalikkan tubuh dan ingin meninggalkannya, Reza langsung mendaratkan sebuah ciuman di pipiku – hangat!

“Reza!!” teriakku, lalu menampar pipinya semampuku. Tetapi dia tak perduli. Dua tangannya langsung memeluk tubuhku erat-erat.

“Jangan pergi Ra! Aku ingin kamu menemaniku menghabiskan sisa lajangku” ucapnya tanpa melepas dekapannya.

“Jangan ngaco kamu Za! Kalau pun aku juga mencintaimu, aku tidak mungkin menjadi milikmu.” Ucapku – masih dalam dekapannya.

“Kenapa Ra?” tanyanya lagi, kai ini dia melepas pelukannya pelan-pelan. Matanya menatap bola mataku dalam-dalam.

“Karena kamu telah menjadi suami dari wanita lain, dan menjadi ayah dari seorang bocah mungil yang pernah kau timang setiap hari menjelang sore.” Jawabku sambil menundukkan pandangan.

“Lalu, jika aku bukan suami atau ayah dari siapa pun, apakah kau masih mau menjadi istriku?” tanyanya tanpa rasa berdosa. Aku mengangguk pelan.

“Aku pernah mencintaimu saat kita pernah melalui masa sama-sama. Dan sampai hari ini pun aku masih mencintaimu. Aku datang kemari hanya untuk menjemput cintaku – kamu. Tetapi tahu kah kau betapa lukanya hatiku saat tahu bahwa kau telah menjadi milik orang lain?” Tuturku jujur.

“Ra, wanita yang kamu kira istriku itu adalah kakak iparku yang suaminya masih terbaring sakit di salah satu kamar – di rumah itu. Dan bocah yang sering kamu lihat aku menimangnya adalah anak mereka. Sedangkan aku, terus menantimu pulang sejak kau pergi 4 tahun lalu.” Jelasnya.

**

Akhirnya cinta telah temukan jalannya sendiri. Yach! Inilah kekuatan cinta yang seringkali orang memungkirinya. *end.

Puisi : Batas Cakrawala

Puisi Erny wirdaningsih

Batas Cakrawala I

angin pemberontakan
menyerang langit dan bumi.
dan dua belas ekor singa
muncul dari masa silam
merobek-robek hatiku yang celaka.

aku memanggilmu berulang kali
namun kau tetap bisu bersama waktu
aku memanggil namamu

kerna engkau rumah di lembah.
dan tuhan ?
adalah seniman tak terduga

Batas Cakrawala II

seribu jari dari masa silam
menuding kepadaku.
tidak!
aku tak bisa kembali.

aku memanggil namamu lagi
tapi amarahku bangkit dengan perkasa malam ini
menghamburkan diri ke batas cakrawala
yang sebagai gadis telanjang
membukakan diri padaku
penuh. dan prawan.

Batas Cakrawala III

lalu keheningan menyapa ramah

bak telaga besar yang beku
dan aku pun beku di tepinya.

wajahku. lihatlah, wajahku.
terkaca di keheningan.
berdarah dan luka-luka
dicakar masa silamku.

Masih cinta

biar kulukis wajahmu di atas senja.
agar kau tau rasa yang kusimpan jauh
lalu temani air mata ku
hinggapi sepi-sepi

cinta kembalilah menuai rindu untukku
lalu
izinkan aku berbisik merdu
bahwa aku masih mencintaimu




Kamis, 29 April 2010

Cermin yang Retak

By : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Setiapkali aku berkaca pada hari kemarin, aku seolah melihat diriku dalam sebuah cermin yang retak. Selalu ingin kucurahkan air mata untuk mewakili perasaan gundahku. Aku tau, tak seharusnya lagi aku menghubungimu. Akupun tau, terlalu hina diriku untuk mengemis cintamu lagi, karena kutau engkau telah berdua, dan akupun juga. Aku mencintai dia yang kini mengisi hari-hariku setelah kau pergi, tetapi aku tak bisa menepis rasa rindu dan keinginan untuk tetap bersamamu.
Berulangkali kucoba untuk melupakanmu, melupakan semua tentang kita. Tapi kenapa terlalu sulit? Sungguh! Jika kesempatan itu masih ada, aku ingin menghentikan waktu, dan membiarkannya tetap menjadi saksi cinta kita. Aku sadar, betapa aku kehilanganmu. Aku mengerti betapa berartinya kau dalam hidupku. Kau selalu menghapus air mataku saat aku menangis, kau selalu menenangkan hatiku disaat suasana hatiku buram.
Aku tak mengerti mengapa kini aku baru menyadari cinta ini. Setelah semuanya menjadi puing-puing masalalu yang tak akan pernah kembali lagi.
Akh….!!
Aku mencintaimu!
Aku tak mengerti bagaimana harus hidup tanpa bayang-bayangmu lagi. Terlalu sulit kasih.
**
Kubaringkan tubuhku dikasur, kupejamkan mata, kuhirup nafas dalam-dalam. Aku ingin merasakan belaianmu lagi seperti waktu itu. Waktu kau belai rambutku, kau hapus air mataku.. terlalu indah sayang. Entah bagaimana aku harus belajar melupakan semua yang pernah kulalui bersamamu. Sungguh! Terlalu sulit.
Hampir setahun aku berusaha melepaskan semua yang pernah kita jalani. Kucoba leburkan rindu, menguburnya jauh ke ulu hati, tapi aku tak bisa. Disetiap malam-malamku, kau hadir bagai bayangan yang bercermin pada kelabunya malam.
Inbox hp ku sepi. Tak ada lagi yang mengucapkan selamat pagi, atau sekedar mengirimkan kalimat selamat malam, mimpi indah, dan entah apalagi. Aku kehilangan semua itu. Tak ada lagi yang mengajakku menikmati indahnya senja ditengah kota, tak ada lagi yang menantangku untuk belajar bahasa pemrograman. Akh…!! Kenapa begitu cepat?
**
Kusandarkan tubuhku kebadan kursi, di kantin kampusku. Kutatap langit-langit siang dengan pandangan kosong. Kubiarkan angin menyapaku ramah. Tiba-tiba air mataku berderai, melintas hingga kesudut bibirku. Tak ku hapus setetespun. Anganku berlabuh pada kenangan beberapa waktu silam, sewaktu aku masih sama-sama menjalani hari-hari dengan Ahda, mantan kekasihku. Aku tak pernah serindu ini padanya. Sungguh!
Sebuah tangan, hangat, tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku tersentak dari lamunan, kulirik kebelakang, dan ternyata Dhika, kekasihku. Sebuah senyuman mungil terukir dibibirku,dia membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih indah.

“Kenapa menangis? Ada yang salah?” tanya Dhika padaku, seraya duduk disebelahku. Aku menyandarkan kepalaku dibahunya, dan dia pun mengelus rambutku manja. Aku menggeleng.
“Hari ini ada acara?” tanya Dhika, melanjutkan kata-katanya.
“Tidak..,” jawabku sambil terisak, sesunggukkan.
“Hari ini kita jalan yuk..” ajaknya.
“Kemana?”
“Kesebuah tempat yang belum pernah kamu kunjungi”

Akhirnya sepulang kuliah, aku dan Dhika pergi kesebuah tempat, yang aku sendiri tak tau tempat apa ini namanya. Ini kali pertamanya aku berada ditempat ini. Indah!
**
Sebuah taman yang indah. Penuh warna-warni bunga. Harum semerbak melebihi parfum termahal sekalipun. Ada banyak kupu-kupu yang bermain ditaman ini dengan riang. Dipojok-pojok taman, terlihat sepasang remaja seumuranku sedang duduk menikmati kesejukan hari. Angin sepoi-sepoi, seperti berada di pantai. Aku dan Dhika duduk disebuah bentangan tikar, sama seperti pengunjung yang lainnya.
“Taman apa ini namanya?” Tanyaku sambil terus mengamati berbagai macam kupu-kupu yang terbang dengan riang.
“orang-orang sini menamai taman ini taman ini taman edelweiss…” jawabnya.
Sesaat suasana hening.
“Happy b’day sayang..,” ucap Dhika tiba-tiba. Aku tak menjawab, pikiranku sedang mengingat-ingat tanggal berapa hari ini. Aku yakin sekali ini bukan tanggal lahirku. Sama sekali bukan!
“Kamu mau pake’ ini?” tanya Dhika lagi, seraya menyodorkan sepasang cincin bermata siput. Lucu! Uniq!
“Happy b’day? “ tanyaku sambil mengerutkan dahi, tak mengerti.
“Hari ini ulang tahun cinta kita. Genap setahun sudah kita jadian…” jelasnya.

Tak terasa, ternyata aku telah menjalani hubungan dengan Dhika selama hampir setahun lamanya, dan itu berarti, setahun pulalah aku dan Ahda berpisah. Air mataku menetes lagi, Dhika menghapusnya dengan penuh kasih sayang. “jangan pernah menangis lagi..” bisiknya.
**
Selama ini Dhika memang tak punya banyak waktu untukku, seperti Ahda dulu. Aku dan Dhika juga tidak seterbuka sewaktu bersama Ahda dulu. Kesibukan yang seakan menghalangi kebersamaan kami. Hari-hari yang kurasakan sepi, mungkin karena aku tak punya banyak waktu untuk melaluinya bersama Dhika, seperti waktu aku masih bersama Ahda dulu.
Sebenarnya aku bingung, jika harus menetapkan pilihan pada cintaku. Aku tak bisa memilih antara Ahda ataupun Dhika. Terlalu samar garis batas antara mereka. Ahda sangat mencintaiku dulu! Yach! Dulu. Karena aku tak pernah tau bagaimana perasaannya kini padaku setelah lama kami berpisah. Apapun rela dia lakukan hanya untuk membuatku tersenyum. Apapun rela dia korbankan untuk nyawaku, sama seperti ketika aku harus menghadapi masa kritis disebuah rumah sakit, beberapa waktu lalu.

Sedangkan Dhika, aku tak pernah tau, seberapa tinggi posisiku dihatinya. Seberapa pentingnya aku dihidupnya. Meskipun Dhika kerapkali berusaha meyakinkan aku akan cintanya, namun sulit untuk menyetarakan posisinya seperti posisi Ahda dihatiku. Sama! Dulu aku pun tak pernah bisa mencintai Ahda seutuhnya. Aku selalu menjadikan Ahda diposisi kedua setelah Edward, cinta pertamaku. Entahlah..
**
Cinta begitu rumit. Terlalu misterius!
Kerinduan membuatku jemu. Namun kenyataan tak bisa ku halau. Aku begitu menginkankan semuanya berjalan sempurna. Mungkin aku egois!
Jika cinta bersedia memberiku cahaya, aku ingin dia menunjukkan jalan padaku, dimana cinta suci itu berada? Jika cinta itu angin, yang datang-pergi begitu saja, aku ingin dia membelaiku, dan memberikanku sentuhan terlembutnya.
Kini, aku bagai berkaca pada cermin yang retak. Aku tak bisa melihat hatiku, atau cintaku. Semua terlihat retak, berantakan! Berkaca pada cermin yang retak membuatku harus berlatih menggunakan isyarat maya untuk membaca bayangan mimpi yang kelabu.
Cinta, tak bisakah kau mengartikan rasa rindu ini? Rindu yang selalu kutitipkan untukmu lewat syair-syair malam yang kedengarannya sumbang.

*end.

Syair Cinta di Diaryku

Oleh : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Sesekali aku masih berharap dia datang lagi dan menemaniku seperti malam itu. Yach, sesekali! Bahkan nyaris tiap hari aku berkeinginan seperti itu. Inilah hal yang paling kutakutkan dalam hidupku, saat aku mulai mencintai seseorang, saat aku mulai menitipkan hatiku padanya, dia justru pergi meninggalkanku. Ini bukan yang pertama – tapi aku selalu berharap inilah yang terakhir.
Lelaki itu – lelaki yang pernah menemani hari-hariku yang menjemukan, dia yang pernah memotivasiku untuk bangkit disaat aku terjatuh, dan dia yang namanya pernah kulukis dihatiku itu kini telah pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
Kecelakaan itu telah merebut nyawanya – nyawa orang yang sangat kusayangi. Dia pergi berlumur darah, pergi dengan isak tangisku yang mengaung tak rela saat desah nafas terakhirnya masih tercium hangat disisa-sia rintih sakit yang berusaha ia tahan.
Aku masih sempat melihatnya tersenyum meski itu untuk yang terakhir kalinya. Akupun masih sempat merasakan lembut belaian tangannya mengelus rambutku – walau sentuhan itu nyaris tak berdaya.
“Kamu harus tetap tersenyum meski aku tak ada lagi bersamamu nanti” Itulah kata-katanya yang masih sempat kudengar siang itu – sebelum dia menghembuskan nafas terakhir kalinya. Aku menggeleng pelan, menahan perih yang berkeping-keping di ulu hatiku. Satu persatu nafasku terengah dan luluh mulai menetes dipermukaan pipiku. Aku masih sempat merasakan dia menghapus titik-titik luluh itu terakhir kalinya.
“Apapun alasannya, aku ingin kamu tetap ada bersamaku”. Rintihku saat itu, saat matanya hampir terkatup dan desah nafasnya semakin melemah.
“Aku akan bertahan semampuku” Ucapnya terbata. Saat itu aku tidak melihat kekuatannya untuk bertahan lagi. Dua bola matanya mulai terkatup rapat dan desah nafasnya lembut membius untuk terakhir kalinya. Dia pergi. Aku menangis dalam diam – nyaris tak ada suara. Aku tak bisa berkata-kata, selain membiarkan dua tanganku tetap memeluk tubuh kakunya yang tak lagi bernyawa itu.
**
Sejak saat itu aku menutup diri untuk cinta. Setiapkali aku melintasi jalanan ini ingatanku masih lekat pada peristiwa waktu itu. Sebuah peristiwa yang membiarkan nyawa kekasihku hilang begitu saja.
Aku benci dengan balapan! Yach, aku benci balapan dan semua yang ada hubungannya dengan balapan. Kalian mau tahu kenapa? Karena kekasihku pergi dan tak akan pernah kembali lagi saat salah seorang pesaingnya dengan sengaja menyerempet sepeda motornya hingga dia terpelanting membentur jalanan aspal yang kering.
**
Tapi semua rasa traumaku tentang kehilangan nyaris usang seiring waktu saat aku bertemu dengan sosok pria yang tampil tenang, yang dari bibirnya aku tak pernah menemukan kata-kata kotor, yang dari matanya aku tak pernah melihatnya berkeliaran. Setidaknya disaat dia bersamaku. Namanya Ricky – seorang Mahasiswa jurusan manajemen informatika disalah satu perguruan tinggi swasta. Dia teman sekelasku.
Awalnya semua biasa saja, tidak ada yang menarik dari Ricky selain aku tertarik padanya sebagai seorang sahabat. Dan semua berangsur berubah saat Ricky memintaku untuk menjadi kekasihnya.
**
Akan kukatakan pada kalian tentang rasa takut itu yang kini mulai hadir lagi. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengubur ketakutan ini, bahkan aku sendiri pun tak pernah tahu mengapa rasa takut ini selalu menghantuiku. Aku telah berhasil mengubur rasa takutku selama setahun lebih. Tapi hari ini, disaat usia pacaran kami hampir genap setahun enam bulan, aku mulai dihantui ketakutan yang sama. Aku mulai takut kehilangan dia!
Sungguh!
Setiapkali senja tiba dan warna merah mulai berayun-ayun dibelahan langit sebelah barat, aku selalu berdo’a agar aku tidak benar-benar mencintai Ricky. Aku kerapkali berdoa semoga perasaan ini tak lebih dari rasa sayang seorang sahabat. Tapi sepertinya aku salah, aku mulai menaruh hati padanya. Aku mulai mencintai dia disaat aku tahu bahwa aku akan pergi.
Jika harus ada yang boleh kukatakan saat ini, aku hanya ingin dia tahu bagaimana aku berusaha untuk tetap bertahan demi dia. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan, dan aku pun tahu pedihnya luka karena ditinggalkan. Untuk itulah aku ingin tetap ada bersama dia.
**
Aku penderita Leokimia Kronis. Yach, itulah alasan mengapa aku takut kehilangan dia. Tuhan telah menitipkan hatiku untuk dia, Tuhan telah membiarkan aku menjalani kehidupan bersama dia, dan hari ini aku tak bisa lagi memungkiri bahwa benih-benih cinta itu telah mekar.
**
Ini adalah hari yang paling kutakutkan. Hari yang memaksaku untuk terbaring kembali di pembaringan rumah sakit dan membiarkan jarum-jarum infuse menjerat hampir seluruh tubuhku hingga membiarkanku berusaha menahan rasa sakit yang teramat nyeri.
“Maafkan Rara” Ucapku saat Ricky datang membesuk. Dia menggeleng, lalu dari bibirnya aku melihat sebuah senyuman. Digenggamnya jemariku erat, kemudian dia menempelkannya didadanya. Aku merasakan ada detak yang tak beraturan disana.
“Aku mencintaimu apa adanya”. Ucapnya begitu tulus. Aku bisa merasakan bahwa kata-kata itu benar-benar tulus. Sebuah kerlingan bercak luluh singgah dikorneanya. Lalu dia mencium keningku. Hangat!
“Aku mencintaimu”. Balasku.

Aku tidak tahu pasti apakah aku akan sembuh dari penyakit ini. Yang ku tahu aku ingin tetap bertahan demi orang-orang yang kusayangi dan demi orang-orang yang menyayangiku.

**
“Inilah cinta, yang darinya kamu menemukan kekuatan meski sebenarnya kamu tahu kamu tidak akan mampu bertahan. Dan inilah cinta, yang darinya kamu melihat kehidupan meski kematian kerapkali membayangimu”. Itu adalah sepenggal syair yang pernah kutuliskan di diaryku saat aku mulai menyadari bahwa aku mencintai Ricky.

*end.



Sabtu, 24 April 2010

Wanita bermata cokelat

Wanita bermata cokelat

Oleh : Erny Wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Jika aku kerapkali membiarkan jari-jariku menari diatas keyboard komputerku, wanita itu justru membiarkan jemarinya menari diatas kanvas. Setiap garis ia hubungkan hingga membentuk sesuatu yang kadangkala nyaris aku sendiri pun tak tahu apa itu. Dia bagai orang bisu yang tak bisa berkata-kata. Setiapkali aku bertanya sesuatu, dia hanya memainkan dua bola matanya sebagai isyarat, atau kadang-kadang dia hanya sekedar mengangguk atau menggeleng pelan.

Matahari belum sempurna betul memancarkan sinar terangnya. Cahayanya masih mengintip dari balik dedaunan muda yang sesekali terhempas angin. Sejak pagi tadi, saat mentari masih teronggok bisu membiuskan fajar kebumi, wanita berambut pirang dan bermata cokelat itu telah duduk manis dihadapan kanvasnya. Sesekali ia torehkan warna hitam, merah, biru, dan entah apalagi. Aku memperhatikannya dari jauh. Sangat jauh!

Entah apa yang pernah terjadi dimasalalunya, hingga dua bola matanya selalu tergenang butiran salju yang hampir tumpah. Aku yakin wanita itu tidak bisu, karena waktu itu aku sempat mendengar dia bicara pada seseorang dibalik telphon selulernya. Tapi aku sungguh tak mengerti mengapa dia enggan berbagi kisah denganku? Yach, aku memang tidak mengenal dia, tapi tetap saja aku sangat bahagia jika dia mau berbagi kisah. Entahlah.

**

Seakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang terlihat asing dimataku. Sosok bermata cokelat yang biasanya terpaku dalam diam disudut kursi taman itu, kini nyaris tak tampak, padahal matahari sudah terlalu tinggi dipermukaan langit. Cahayanya pun terbias pada rinai garis-garis awan yang terlihat seolah kelabu.

Kulangkahkan kakiku kearah tempat wanita bermata cokelat itu biasa menjalani rutinitasnya. Disana aku melihat ada sisa-sisa warna cat yang masih tertinggal diatas batu besar tempat biasa ia duduk. Aku berharap hari ini wanita itu datang dengan membawa seutas senyuman dan mau membuka diri untuk berbicara denganku. Sungguh! Aku penasaran siapa dia sebenarnya.

“Maaf, anda siapa?” Tiba-tiba suara itu menghamburkan lamunanku. Kuarahkan pandangan menuju suara tersebut. Dan sesosok wanita misterius itu berdiri tepat dibelakangku. Lengan sebelah kirinya mengapit lukisan-lukisan yang hampir jadi, tapi tak seutuhnya jadi, sedangkan kedua tangannya memegang peralatan lukis. Aku berdiri dari dudukku, lalu kusapa dia ramah.

“Maaf, aku Reza”. Ucapku sambil mengulurkan tangan. Wanita itu lalu meletakkan peralatan lukisnya diatas sebuah meja kecil, dan disambutnya uluran tanganku.

“Arini”. Jawabnya datar.

Oh,tuhan tangannya begitu lembut. Saat dia membalas uluan tanganku, aku bisa merasakan betapa dinginnya jemari itu. Sangat dingin! Dan ketika itu aku bisa melihat dengan jelas betapa indahnya dia. Tubuh jangkungnya yang putih dengan mata belo’ dan rambut pirang sebahu, sempurnalah ia bagai seorang bidadari. Aku belum pernah menemui seorang wanita secantik dia.

Aku dan wanita itu lalu brbincang-bincang. Meski sebelumnya beberapa pertanyaanku sempat tak dijawabnya.

“Lukisan kamu bagus. Warnanya hidup. Mengapa tak dijual saja?” Tanyaku membuka obrolan.

“Lukisan ini akan kujual”. Ucapnya tanpa mimik.

“Kalau boleh tahu siapa sosok lelaki dalam lukisan itu?” Tanyaku hati-hati, takut membuatnya tersinggung. Sejenak dia menatap mataku tajam, tanpa senyum. Tanpa kata-kata pula.

“Maaf kalau pertanyaan itu membuatmu tersinggung. Aku tidak bermaksud…”

“Tidak apa-apa”. Ucapnya sebelum aku sempat meneruskan kata-kataku. Lalu kemudian suasana hening lagi.

**

Hampir seminggu perempuan itu tak lagi pernah tampak berada ditaman kota. Aku kehilangan dia, sama kehilangannya saat dia telat datang tempo hari. Bahkan ini jauh lebih kehilangan!

Ada rindu yang diam-diam mencuri hatiku. Ada rindu yang pelan-pelan membelaiku lewat sapaan angin yang ramah. Aku mencoba membaca warna rindu itu, rindu yang sebelumnya tak pernah ada. Dan hari ini warna rindu itu semakin jelas, mengubun diurat nadiku.

Aku mencari sosok itu, mencarinya tanpa identitas yang kukenal. Setiap orang yang kutemui ditaman ini selalu kutanyai tentangnya. Tapi tak satu pun yang tahu. Semuanya menggeleng, tak ada satu pun yang tahu dimana dia. Dan anehnya lagi, tak pula ada yang tahu sosok pelukis itu ditaman ini.

“Maaf pak, numpang tanya”. Ucapku pada salah seorang bapak yang lewat tepat diseonggok batu besar tempat wanita itu biasa meopangkan waktunya.

“Ya”

“Bapak tahu tidak wanita yang biasanya melukis dibatu besar ini?” Tanyaku sopan. Matanya sempat mengingat-ingat, dan keningnya mengernyit, lalu cepat-cepat dia menggeleng dan kemudian pergi meninggalkanku tanpa kata-kata. Begitulah kerapkali yang terjadi saat aku menanyakan tentang sosok pelukis itu.

“Kenapa tidak ada yang tahu?”. Gumamku dalam hati. Aku sudah kehilangan sosok itu lebih dari dua minggu, dan setiap orang yang kutanyai tak satupun yang tahu. Kalau pun ada, hanya beberapa yang sempat mengernyitkan dahinya. Tapi tak mengatakan apa-apa. Seolah sesuatu pernah terjadi disini. Entahlah.

**

Gulungan ombak menyapaku ramah. Sesekali dihempasnya kakiku. Riakannya seolah membuat damai itu bersenandung dikedalaman hatiku. Kubiarkan mataku memandang jauh kedepan dengan tatapan kosong. Sambil menikmati pagi yang masih sangat asri.

Sesosok wanita baru saja melintas didepanku. Aku cepat-cepat menolehkan pandangan kearahnya. Sosok itu belum jauh.

“Arini!” Panggilku. Sosok itu berhenti, tanpa membalikkan tubuhnya kearahku. Aku cepat-cepat berlari mendekatinya. Ada senyuman mungil dibibir tipisnya yang dipolesi lipstick merah jambu itu. Senyuman bidadari bila aku menyebutnya.

“Arini, kamu kemana saja? Aku selalu menunggumu ditaman, tapi kamu tak pernah datang lagi. Apa khabar?” Tanyaku bertubi-tubi, seolah ingin melepaskan rindu yang lama menggores hati. Dia diam saja, lalu tangan kanannya mengulurkan sebuah bingkisan berukuran sedang padaku. Aku yakin itu adalah lukisan, namun aku tak tahu pasti lukisan siapa yang diberikannya padaku. Apakah mungkin itu gambarku? Entahlah.

Kugenggam jemari itu, dan rasa dingin seperti waktu pertamakali aku menggenggam jemarinya masih sangat terasa. Bagai kepingan es yang seolah mencair. Dia mengerlipkan mata cokelatnya, lalu ada setetes luluh yang singgah dipipinya. Tubuh itu terlihat lemah apalagi saat ia meneteskan airmatanya.

“Aku harus pergi”. Ucapnya saat ombak bergulung semakin deras, menghentakkan desir yang bergemuruh didadaku. Aku mengangguk pelan, nyaris tak terlihat.

“Aku mencintaimu” Ucapku saat aku masih sempat melihat mata indah itu. Lalu dia menempelkan jari telunjuknya dibibirku.

“Aku tak pantas untuk kau cintai”. Ucapnya datar.

Saat aku ingin menanyakan mengapa, dia lebih dulu meninggalkanku pada sekeping sunyi yang mungkin akan menemani hari-hariku sejak ia pergi nanti.

**

Langit kelam, hanya kerlip bintang-bintang senja yang jumlahnya masih bisa dihitung jarilah yang seolah memberi warna. Tak ada purnama malam ini, tak juga ada gerimis. Malam ini datar saja, seperti tak berirama. Sajak-sajaknya sumbang, namun tetap kunikmati. Aku baru saja membuka bingkisan yang diberikan Arini tadi siang, dan alangkah terkejutnya aku saat melihat sosok itu – sosok yang ada dilukisan itu bukan aku, melainkan sosok lelaki tua yang kulitnya hampir keriput dimakan usia. Yang dimatanya terlihat keletihan yang sangat.

Cari dan temukan dia jika kau ingin tahu siapa aku. Tanyakan padanya segalanya tentangku. Dan jika nanti kelak kau bertemu dengannya, tolong sampaikan rinduku padanya’.

Setelah membaca secarik surat yang sengaja ia selipkan itu, hatiku bertambah bingung. Serangkaian Tanya mulai bergeming ditelingaku. Memburu didadaku. Hingga aku berharap malam akan segera berlalu, agar aku bisa mencari sosok dalam lukisan itu.

**

Senja hampir terbenam, sekelompok bangau berarak kembali kesarangnya. Aku tak tahu lagi kemana harus mencari sosok dalam lukisan itu, seharian kuhabiskan waktu kesegala penjuru, tapi tak juga kutemukan sosok itu. Kusandarkan tubuhku pada setetes rinai hujan yang mulai meneteskan airmatanya. Aku berteduh dibawah pohon dipinggir jalan Subroto sambil terus mencari-cari sosok dalam lukisan itu.

Saat gerimis mulai reda, kulanjutkan perjalananku. Aku berhenti pada sebuah warung tenda yang menjual nasi dan lalapan. Kupesan satu porsi.

“Terima kasih pak”. Ucapku saat pejual itu meletakkan pesanan dimejaku. Dia mengangguk.

“Sama-sama, silahkan menikmati” Balasnya.

Aku menyantap hidangan yang baru disajikan itu dengan lahap. Satu porsi nasi, lalapan dan ikan bakar menggugah seleraku hingga dipuncak hasrat. Entah karena masakannya yang lezat atau mungkin pula karena rasa lapar yang tak lagi tertahan, yang jelas satu porsi yang kupesan kini tinggal piringnya saja yang tersisa.

“Berapa pak?” Tanyaku saat ingin membayar

“Rp.35000 saja” Jawabnya sambil menyodorkan bill alias catatan kecil tentang harga. Aku mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.

“Ini kembaliannya”. Ucap bapak itu sambil menyodorkan lembaran uang sepuluh dan lima ribu. Aku mengambilnya. Bapak itu pun kembali meninggalkanku. Tapi saat kakinya hendak berbalik arah, aku cepat-cepat memanggilnya kembali.

“Maaf sebentar pak”. Pintaku santun. Lelaki tua itu pun membalikkan arahnya lagi. Aku mencoba membaca garis-garis diwajahnya. Dan kuyakin aku tak salah lagi.

“Ada apa nak? Kembaliannya kurang ya?” Tanyanya seraya mengernyitkan dahi. Aku menggeleng, lalu kuperlihatkan lukisan yang sejak tadi berada dalam tas ranselku. Beliau memperhatikan lukisan itu dengan seksama. Lalu dari bibirnya sempat terucap kata “Arini”.

Berulangkali lelaki itu mengucek matanya yang memerah oleh bendungan luluh yang sengaja tak ingin ditumpahkannya, walaupun aku tahu ada sesuatu yang pernah terjadi dengan dirinya dan sipembuat lukisan itu.

“Darimana kamu mendapatkan lukisan ini?” Tanyanya sambil menyunggingkan senyuman yang teramat getir.

“Dari seorang wanita berparas bidadari yang pernah saya temui beberapa waktu lalu pak”. Jawabku tak menyebutkan nama gadis itu, kuharap ada sepenggal cerita yang bersedia ia bagi padaku tentang Arini, atau apapun yang ada kaitannya dengan Arini dan lukisan itu.

Dia meletakkan lukisan itu lagi kemeja. Lalu nafasnya mendesah pelan, sangat pelan. Ada kata-kata yang bergeming dikerongkongannya. Lelaki setengah baya yang kini duduk didepanku itu kini terpaku dalam kebisuan. Matanya semakin memerah oleh percikan luluh yang tumpah satu persatu dari bias pelupuk mata tuanya yang lelah. Desah nafasnya seolah mengisyaratkan rindu yang lama ia sembunyikan. Entah apa yang telah terjadi, entah apa pula yang nyaris membuatnya menjadi bisu.

“Saat matahari terbenam nanti, aku akan menemui bapak dipenghujung senja yang mungkin tak terlihat oleh secercah pandangan”. Lelaki itu mulai berbicara. Sebentuk syair ia tuturkan. Aku tetap mendengarkannya, walau sama sekali tak mengerti apa maksudnya. “dan disaat nadiku teronggok pada sebuah kematian, rindu itu akan tetap ada” Lanjutnya. Airmatanya mulai menetes semakin deras, dan singgah dipipinya yang mulai tampak keriput oleh garis usia. “dan jika waktu tak rela mempertemukan kita, biarlah kusimpul rinduku pada setiap coretan dikanvasku. Akan kulukis wajah bapak sampai aku lelah”. Sambungnya.

Wajah tua itu kini menatap mataku dalam-dalam, entah apa yang ia cari. Kemudian satu persatu kata mulai terukir membentuk rangkaian cerita. Sebuah kisah tentang Arini pun ia tuturkan tanpa terlihat ada sesuatu pun yang ia sembunyikan.

“Gadis itu, gadis bermata cokelat dan berambut pirang itu adalah buah cinta kami yang lahir sekitar dua puluh tiga tahun lalu. Dia adalah gadis yang periang disaat almarhum ibunya masih hidup. Tapi setelah kematian merenggut nyawa ibunya, ia berubah menjadi sosok gadis yang pendiam. Dia tak mau bicara, atau berkata-kata lagi. Setiapkali ada yang menanyakan kenapa, dia hanya menggeleng, tak ada sepatah katapun yang keluar dari kerongkongannya sejak itu. Saat itu, sewaktu almarhum ibunya meninggal, saya masih berada dalam tahanan penjara karena dituduh menggelapkan uang milyaran rupiah”. Bapak itu menuturkan

“Bapak tidak mencoba membela diri?” Tanyaku. Dia tersenyum, lalu menggeleng.

“Percuma. Betapapun kami tahu, juga Arini, bahwa saya tidak melakukan hal keji itu, tapi kami tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara, hingga akhirnya saya pun mendekap ditahanan selama kurang lebih dua tahun”. Lanjutnya. Aku masih menanti butiran kata-kata selanjutnya. Sejenak lelaki tua itu menarik nafas dalam-dalam.

“Lalu?” Tanyaku semakin penasaran.

“Enam bulan yang lalu saat saya keluar dari tahanan, Arini jatuh sakit. Berhari-hari saya menemaninya menghabiskan waktu dipembaringan rumah sakit. Dia pernah membacakan syair pada saya, tepatnya sehari sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya”. Lanjut lelaki tua itu. Aku tersentak! Gemuruh semakin bergejolak didadaku.

“Nafas terakhir?” Seruku tak mengerti apa maksudnya.

“Ya. Arini kini telah tiada. Dia meninggal tiga bulan yang lalu karena asam lambung yang kronis”. Tuturnya.

“Asam lambung?”

“Yach. Sejak kepergian ibunya Arini tidak mau makan, tak ada sesuap nasi pun yang mau ia telan jika tidak saya yang menyuapinya. Kalaupun ada, hanya satu dua suap saja yang berhasil masuk kemulutnya”. Jelasnya.

“Aku tak mengerti dengan semua ini”. Ucapku bingung.

“Arini seorang pelukis hebat. Berbagai juara pernah ia raih. Namanya semakin harum saat ia memenangkan juara pertama tingkat nasional. Saat itu dia mengambil tema lukisannya tentang ibu. Itulah sebabnya orang-orang mengenal kami dan menganggap kami itu ada. Semua karena jerih payah dan keuletan Arini yang tak kenal kata menyerah”. Tuturnya jelas.

Jika Arini telah pergi tiga bulan yang lalu, lantas siapa sosok yang kutemui ditaman kota dengan rambut pirang dan mata cokelat itu? Siapa pula sosok yang mengaku dirinya Arini? Jika sosok itu kini terpaut dalam sebuah batu nisan, lantas siapa sosok yang pernah menempelkan jemarinya dibibirku saat aku menyatakan cinta?

Tuhan, terlalu cepat kau panggil dia sebelum sempat kutorehkan cerita tentang rasa ini didiary mungilnya.

**

Arini telah pergi bersama rindu yang ia pendam untuk orang-orang yang ia cintai. Dia pergi dengan sebuah sajak rindu yang tak akan pernah karam walau akhir waktu menjulang. Arini telah mengajarkan keteguhan yang tak semua orang memilikinya. Dengan segala ketidak punyaannya, dia memperjuangkan segalanya agar bisa menitipkan nama harum kelak bila ia pergi.

Pada rinai gerimis malam ini ada wajah Arini yang singgah dipemandangan mataku. Sosok itu datang dengan senyumannya. Dia tersenyum indah! Meski dibola matanya yang cokelat itu masih sempat kulihat secercah warna merah.

*end.

Rindu Tengah Malam

Rindu Tengah Malam
Oleh : Erny Wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Kereta api jurusan Bandung-Jakarta baru saja tiba di stasiun. Kusandang tas ranselku di bahu, lalu langkahku menjauh dari rentetan gerbong kereta. Jam di pergelangan tanganku menunjukkan angka pukul setengah satu malam. Mataku mencari-cari sesosok yang memang sudah sangat kurindu beberapa hari ini.
Tepat setelah aku berada di dekat palang kereta, sebuah senyuman terlukis indah di wajah kekasihku – Reza. Aku langsung merangkulkan tanganku dipinggangnya lalu memeluknya erat, dan dia membalas pelukan itu dengan merangkulkan tangannya dibahuku. Masih sempat kurasakan belaian tangannya saat mengacak-acak rambutku hingga berantakan.
“Akh, ternyata ada rindu yang selama ini berusaha kusembunyikan darinya. Dan malam ini rindu itu pecah sebab aku tak lagi kuasa untuk membendungnya. Aku benar-benar merindukan dia! Tapi aku terlalu egois untuk sekedar mengatakan padanya bahwa aku tak sanggup jika harus terus-terusan membiarkan rindu ini beku”.

“Kasihan dia, pasti capek banget ya?” Ucap Reza sambil menggandengku, berjalan menuju sepeda motor yang diparkirkannya didepan sana. Aku tersenyum – manja.
“Dia udah makan?” Tanyanya. Aku menggeleng pelan.
“Belum” Jawabku singkat
“Kita mau langsung pulang atau beli makanan dulu?” Tanyanya. Sebenarnya aku tidak lapar, karena mataku jauh lebih kantuk daripada rasa lapar yang ada. Tapi rasanya aku tidak rela jika malam ini akan berlalu terlalu cepat. Rinduku masih menggumpal, dan aku masih ingin menyematkan waktu lebih lama lagi dengannya.
“Kita beli makan saja yuk” Ajakku.
“Oke”

Reza mulai menstarter sepeda motornya. Dua ban keretanya mulai melaju berkejar-kejaran. Aku melingkarkan tanganku dipinggangnya. Lebih erat dari biasanya. Kusandarkan kepalaku dibahunya – manja!
Sesekali aku masih sempat merasakan Reza menggenggam jemariku erat disela-sela ia mengendarai motornya. Yach, masih membekas diingatanku walaupun Reza masih kelihatan ragu-ragu untuk hanya sekedar menggenggam jemariku. Mungkin dia terlalu menjaga diriku, juga segala tentangku – tentang kami.
Dingin angin malam semakin terasa nyeri di sum-sumku, namun kerinduan yang hampir kering itu masih sangat haus oleh pertemuan singkat ini. Rasa kantuk yang tadinya seakan mengapit dua bola mataku, akhirnya hambar dihempas rindu.
**
Tak lama kemudian akhirnya kami pun sampai disebuah rumah makan yang menjual sate padang. Reza memesan satu porsi untukku, tapi dibungkus. Setelah itu kami pun kembali pulang. Sepanjang jalan menuju kostku, ada dawai yang seakan bersenandung lagi.
Akh, seandainya bisa kuhentikan waktu – sejenak! Aku ingin malam ini berlalu lebih lama dari biasanya. Aku ingin rindu ini pecah pada sebuah akhir yang indah.
**
Ternyata ada rindu yang diam-diam menikamku. Padahal aku telah berusaha untuk menguburnya dalam-dalam, namun saat bertemu dia lagi, aku sungguh tak punya kendali walau untuk sekedar menahan gejolak itu.
**
Malam masih akan berlalu lama lagi setelah Reza mengantarku pulang. Sambil membiarkan tubuhku terbaring pada sebuah kasur, mataku menatap langit-langit kamar yang sebenarnya itu-itu saja, tak ada yang berubah sedikitpun, dengan tatapan yang erat. Aku seolah menemukan sosok bayangan disana. Ada Reza yang membayang diingatanku, lalu membias pada suatu sudut diruang kamarku.
Aku tersenyum saat kusadari ternyata bayangan itu hanya ilusi. Dan ketika sebuah pandangan tertuju pada seonggok PC yang letaknya di sudut dekat pintu itu, aku langsung bangkit dari kasur dan langsung menyalakan tombol power di CPU, kemudian dilanjutkan lagi dengan menekan tombol on pada dekstopku.
Rangkaian kata mulai curah pada tiap lembar aplikasi Microsoft word. Disana ada banyak kata yang mengalir deras tak terbendung. Disana ada sebuah fakta yang sengaja kurangkaian dengan ilusi. Dan disana ada sepasang rindu yang beku disudut waktu. Aku merangkaikan semuanya dengan bahasa, juga cerita yang alurnya kumulai pada suatu pertemuan malam itu.
Jika sahabatku bicara pada percakapan senja, aku justru bicara tentang rindu ditengah malam yang hening. Rindu yang akhirnya pecah dan melukiskan warna merah merona diwajahku. Akh, rindu!



*end.


Keterangan:
*dia = sapaan/panggilan akrab sebagai pengganti nama.
*percakapan senja = cerpen sahabat dalam forum Artefak yang dibukukan secara bersamaan dengan cerpen penulis yang berjudul ‘Digerbang Penantian’ oleh Laboratorium Sastra Medan.