Minggu, 14 Juni 2009

Pesan dari Alam Lain (Cerpen)

Suara petir di luar sana masih bersahut – sahutan. Dingin semakin mencekam, menusuk sum – sum tulangku. Sesekali ku teguk segelas teh hangat sambil terus menyaksikan tayangan televisi. Jarum jam menunjukkan pukul setengah satu malam, rasa kantuk mulai merajaiku. Ku matikan tv ku, dan aku pun masuk ke kamar, ku tarik selimut panjang ku, dan aku pun mulai menikmati fatamorgana ku.

Aku biasa di panggil Laras, aku tak punya siapa – siapa di dunia ini. Sejak kecil aku hidup di panti asuhan. Dan aku pun tak pernah tau siapa ayah dan ibuku. Sosok yang melahirkanku pun tak pernah ku tau siapa beliau.

Hidup di panti bersama anak – anak malang lainnya, bersama anak – anak yang senasib dengan ku, rasanya tidak asing lagi. Yach, walaupun kadangkala rasanya ingin berontak dan lari kenyataan ini, tapi itu mustahil.

***

Suatu pagi, aku dan kak Anggi, kakak sepanti, duduk di beranda belakang. Kami ngobrol – ngobrol. Obrolan tentang kerinduan pada sosok yang telah menjadi bagian dari nyawa kami sebenarnya.

“….kakak nggak pernah berniat menemui orang tua kakak?” tanyaku

“aku capek Laras, capek untuk berharap.”

“maksud kakak?”

“setiap malam.., di malam – malam yang sunyi kakak selalu menengis menahan kerinduan ini. Ribuan bait puisi rasanya kini telah sumbang dek, jika hanya kakak saja yang terus – terusan merindukan mereka, ini tidak adil.” Ucap kak angggi, seolah memberontak pada kenyataan yang ada.

Aku dan kak anggi, adalah bagian kecil dari ribuan anak yang lainnya, yang tinggal disini. Yach, setiap malam, di malam – malam yang kelabu, kami hanya bisa menunggu sang waktu untuk memberikan sedikit saja kesempatan dari harapan – harapan sederhana lain.

Kenyataan memang tak seindah mimpi – mimpi yang berganyut di fatamorgana. Kenyataan selalu mengiris luka, menyayat hati dan memupuk kerinduan.

Time will be the wittness…

Aku hanya bisa menunggu sampai waktu menjadi saksi akan kenyataan di hari esok.

***

“hai.., boleh numpang tanya?” tanya seorang pemuda yang melintas di depanku, ketika aku sedang menyapu halaman depan. Ku hentikan kerjaanku, dan aku pun menoleh ke arah nya.

“ya?” jawabku akhirnya.

“em.., apa bener ini panti asuhan yang di asuh oleh Ibu Karlina?” tanya nya,

“iya. Ada apa ya?”

“nggak.. gue Cuma pengen ketemu beliau.”

“oh.., ya sudah, masuk saja. Mari saya antar.” Ucapku menawarkan. Dia tersenyum manis.

“nggak usah terima kasih. Biar saya sendiri.”

“oh, ya sudah…”

Entah siapa pemuda itu sebenarnya, yang jelas, aku sering berpapasan dengan nya saat pulang kerja. Bahkan.., disaat kami bersimpang jalan, dia menegurku dengan ramah. Seolah kami udah kenal lama.

“hai…!” sapanya saat aku duduk sendiri di sebuah restoran sederhana, di dekat lokasi kerjaku.

“hai…” jawabku sambil meraba – raba siapa dia.

“sendiri?”

“iya.” Jawabku.

“oy, gue Chandra, lu?” ucapnya seraya menyodorkan tangannya. Aku membalasnya.

“Laras.” Jawabku singkat. Dan sesaat kemudian suasana hening.

Aku bekerja sebagai sekretaris di salah satu perusahaan swasta, di kotaku. Aktifitasku yang itu – itu saja membuatku merasa sedikit jenuh. Yach, itulah sebabnya setiapkali akhir pekan aku dan teman – teman ku pergi bareng. Walaupun hanya sekedar jalan – jalan atau makan bakso kesukaan ku. Tapi kali ini, aku tidak gabung dengan mereka. Aku lebih memilih untuk sendirian.

“em………” ucap kami bebarengan. Kami tertunduk malu. Bersimpuh pandang dengan wajah yang tak karuan, dengan hati yang berdetak jauh lebih kencang dari biasanya.

“btw, ngapain disini?” tanya chandra.

“gue lagi boring aja, makannya gue kemari.”

“oh..”

“lu sendiri.?” Balasku bertanya.

“gue jalan – jalan aja.”

“oh…”

Meski baru mengenal chandra, tapi aku merasa telah lama mengenal nya. Dia sosok yang asyik di ajak bicara.

“oy, lu pernah main ke danau harapan?” tanya nya.

“hah? Danau harapan?”

“iya. Di danau itu banyak orang – orang berdatangan menuangkan keluh – kesah dan menyampaikan jutaan harapan di unek – unek nya.” Jelasnya singkat.

“gue gak belum pernah kesana..”

“kalau gitu lu mau nggak kalau gue ajak kesana?” tawarnya. Aku berpikir sejenak. Lalu tersenyum dan menganggukkan kepalaku, sebagai tanda setuju.

Aku dan chandra pun melaju bersama sepeda motornya menuju danau harapan yang katanya begitu indah. Ah, aku jadi tak sabar ingin cepat – cepat melihat keindahan nya. Di atas kendaraan, kami ngobrol – ngobrol tentang banyak hal.

“nah, kita udah sampai Ras,” ucap chandra sambil menunjuk ke arah danau yang dimaksudnya.

“waw….? Keren banget…!!” seruku takjub.

Danau yang indah, seindah harapan orang – orang yang bermimpi menggapainya. Hamparan pasir putih dan gelombang arus ombak tampak begitu indah. Disisi bibir danau masih terlihat pohon kelapa yang nyiur melambai membiaskan angin – angin ramah pada para pengunjung.

Ku tarik nafas panjang, merasakan asri oktigen di daerah ini. Aku tak bisa menahan diri untuk segera menjeburkan badanku menikmati danau itu. Ku lepas sendalku, dan tanpa sepatah kata, aku langsung saja menjeburkan badanku. Chandra hanya tersenyum melihat ku. Ku biarkan pita – pita suara ku menjerit sekuat – kuatnya melepaskan keluh dan kesal.

Setelah merasa sedikit lega, aku pun beranjak dari dinginnya air danau harapan ini. Ku hampiri chandra yang duduk di atas hamparan pasir putih yang indah, sambil melemparkan pandangan jauh ke depan. Menikmati pemandangan indah, dengan nada – nada sumbang dari bias riakkan air danau.

“ini benar – benar indah..” komentarku.

“ya..”

“gue seneng banget. Thank’s ya?” ucapku lagi.

“Laras, memangnya kalau bpleh tau apa yang jadi harapan lu, sampai lu nekad banget menjatuhkan diri di danau ini?” tanya chandra.

“yang jadi harapan awal gue sebenarnya adalah ibu.” Jawabku.

“ibu…??”

“ya, semenjak gue kecil,gue nggak pernah tau siapa sosok yang telah mengandung dan melahirkan gue. Yang gue tau, hanya buk Karina lah yang merawat gue sejak kecil sampai sebesar ini.” Jawabku.

“harapan lain?” tanya nya lagi. Aku tertunduk. Dan rasanya tak bisa ku bendung lagi air mata yang mengetuk – ngetuk pelupuk mataku, dan ingin meneteskan luluh hangat itu.

“awalnya gue penegn banget berharap untuk bisa kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasih gue. Tapi setelah ketemu lu, harapan itu kabur.” Jawabku.

“bersandarlah di pundakku jika dirimu butuh sandaran, curahkanlah keluh – kesah mu jika dirimu butuh diary untuk melepaskan pilar – pilar pilu yang singgah di asa mu.” Ucap chandra. Ku lihat ke arah chandra. Aku bingung dan tak mengerti apa maksudnya.

Chandra menarikku, di biarkannya aku menyandar di pundaknya. Di helus nya helaian rambutku. Aku merasa tenang dan nyaman. Di lantunkan nya sebuah lagu kesukaan ku.

“hora..

Arimato oni tekorando saroni…

Arimomici…”

yach, “Hira’I”, begitulah judul lagu yang di nyanyikannya. Lagu jepang yang mengisahkan harapan – harapan senja tentang hari esok seorang gadis kecil.

***

Sesaat kemudian, ku lihat sekelilingku. Aku seolah mencari sosok chandra dari nyataku. Aku sadar betul bahwa tadi bersandar di bahunya. Aku sadar benar akan canda tawa yang melukiskan memori.

“chandra.., lu dimana?” tanyaku, pada hati yang kini dilanda bingung. Entah kapan ia pergi, aku pun tak tau pasti.

Angin masih membelai ku ramah, langit mulai tampak redup, membiaskan tirai – tirai senja yang mulai tampak kemerahan di ufuk barat. Aku pun membaca selembar surat dengan sampul biru muda, yang melambangkan harapan – harapan. Aku tak tau pasti dari siapa dan untuk siapa surat itu.

“untuk Laras.

Jika aku masih boleh menyampaikan harapan – harapan, aku ingin danau ini menjadi saksi atas perasaanku. Jika seandainya kita berada di dunia yang sama, aku ingin sekali mengatakan bahwa aku mencintai mu. Tapi harapanku karam, bersama kenyataan yang kini tak lagi jadi milikku.

Laras, maafkan aku yang mencintai mu. Dan maafkan aku yang telah membohongimu. Sejujurnya aku bukan lah chandra seperti yang kau kira. Waktu telah merengguk kehidupanku Ras, waktu telah memberiku alam lain sebagai tempatku mengarungi kehidupan yang lain.

Chandra.”

Usai mebaca surat itu, aku beranjak dari duduk ku, berlari ketepian danau. Ku biarkan percikan air menyapu kaki ku.

“chandra……….!!” Teriakku, mencari sesosok yang hilang.

“where are you now…?!”

“why this happen? Please, come here…! There’s something which you know…”

“chandra… ! I love you………..” ucapku sambil memandang danau harapan yang bisu.

Waktu telah mempertemukanku dengan chandra. Memberikan ku setitik warna dalam semunya harapan. Kenapa waktu begitu cepat memisahkan kami? Memisahkan ku dengan chandra.

Disaat aku mulai menaruh simpati padanya, disaat aku mulai belajar untuk mengikhlaskan kepergian mantan kekasihku, kenapa aku harus dihadapkan pada kenyataan lain yang sungguh sangat memillukan.

Semenjak kejadian menghilangnya chandra di danau harapan dua minggu yang lalu, ada bisik – bisik kata dalam bias – bias keredupan malam. Dalam mimpi – mimpi semu, chandra kerapkali hadir menepis bayangan sunyi dari alam nya sendiri. Setiapkali chandra hadir dalam mimpiku, aku seakan merasakan dirinya yang begitu nyata. Aku seakan merasa bahwa dia memeluk erat.

Pesan dari alam lain yang kerapkali disampaikan chandra untukku adalah, “jadilah sesuatu yang indah, yang bisa memberikan cahaya terang bagi insan yang lain. Biarkan waktu yang bicara, atas perasaan yang tak terungkap. Karena cinta memang tak harus memiliki.


*end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar