Aku ingin mengusir rasa trauma ini. Membuangnya jauh – jauh di asa yang kelabu. Terlalu sakit untuk ku kenang semua nya. Yach, terlalu rumit untuk ku describsikan betapa sakitnya kehilangan. Tapi aku tak bisa menghentikan waktu, walau sejenak. Aku tak bisa berkata pada suratan takdir saat ia merenggut nyawa kekasih ku. Aku ingin berkata “jangan ambil kekasih ku…”, tapi yang ada, waktu terus nya merebutnya dari ku, membiarkan nya menangis menahan rasa sakit, dan membiarkan ku menumpahkan kepedihan lewat air mata yang tak bernada.
Kapan senja datang?
Datang kembvali seperti dulu.
Kapan weekend tiba?
Memberikan ku kesempatan untuk bermanja dengan dia?
Akh….
Semua telah berakhir.., karam bersama puing – puing penyesalan yang berantakan. Semua nyaris tenggelam, tak menyisihkan ruang – ruang harapan untuk dapat bertemu kembali. Aku yang dulu selalu menghabiskan weekend bersama Ridwan, aku yang dulu selalu menyantap bakso kesukaan ku bersama nya, kini.. semua nyaris menjadi kehampaan.
**
Setiapkali weekend datang, kini aku hanya menghabiskan nya sendiri. Berjalan ke tempat – tempat yang dulu pernah kami singgahi. Yach, aku seperti orang yang tak tau kemana tujuan. Yang ada di benak ku hanyalah “aku rindu dia”.
Aku tak tau sampai kapan aku akan terus mengharapkan nya kembali. Aku tak tau sampai kapan aku akan terus di hantui oleh bayang – bayang Ridwan.
Setiapkali aku mendengar suara sepeda motor yang di gas kuat – kuat, rasanya gendang telinga ku mau pecah. Rasanya kornea ku ingin menuangkan air mata darah. Dan rasanya dada ku sesak. Aku ingin menjerit sekuat – kuat nya. Yach, semua karena terlalu pahitnya kenyataan yang pernah ku jalani dulu bersama Ridwan.
**
8 tahun yang lalu, aku dan Ridwan jadian. Ridwan teman sekelas ku sewaktu duduk di bangku junior high school dulu. Yach, waktu itu kami memang masih kecil, masih sangat kecil bahkan. Masih terlalu dini untuk mengerti arti cinta sebenarnya. Tapi perasaan… memang tak bisa di pungkiri.., aku mencintai dia, dan Dia mencintai ku. Hingga akhirnya kami jadian.
8 tahun yang lalu aku dan ridwan selalu menghabiskan akhir pecan bersama, yach, walaupun terkadang hanya jalan – jalan menelusuri indah nya senja. Tapi kini.., aku hanya bisa melihat bayangan nya di sela – sela mimpi indah ku. Aku selalu melihat bayangan nya disaat malam menghadirkan kesunyian. Dan aku selalu merindukan nya di aksara waktu yang tak terdefenisi.
Cinta..
Mungkin kah itu yang membuat ku gila? Yang menghantui hari – hari ku? Tapi sampai kapan? Sampai kapan aku harus terus diselimuti bayang – bayang nya? Sampai kapan aku tak bisa membuka hati ku untuk cinta yang lain??
**
Suatu siang, kak Ratna, teman sekampus ku, yang selalu mendengarkan keluh – kesah dan curahan hatiku, datang menghampiri ku.
“hai dek…” sapanya seraya duduk di sebelah ku.
“eh.., kakak? Darimana kak? “ balik ku menyapa.
“nggak.., tadi barusan aja dari kantin depan cari nasi. Tapi gak ada..”
“oh…” ucapku tersenyum.
“dek, kita makan di warung biasa yuk.. laper ni dek…” ajak kak Ratna
“boleh jawabku.
Akhirnya kami pun mengalunkan kaki menuju warung bamboo, tempat makan biasa. Seperti biasanya, kami memesan dua porsi makanan dan minuman. Kami menikmatinya sembari bercerita – cerita.
“dek.., ada yang mau kakak kasih..”
“oy? Apa’an kak…?” Tanya ku penasaran.
“ini…” ucapnya, sembari memberikan sebuah amplop berwarna biru muda, yach, warna kesukaan ku. Aku mengambilnya.
“surat…??” seru ku pelan.
“Iya…” jawab kak Ratna sembari menganggukkan kepalanya.
“Rara baca ya kak..?”
“boleh…” jawabnya singkat.
Aku mulai membuka amplop itu dan membaca nya dalam hati..
“untuk Rara..
Rara, aku tau aku tak berhak mengatakan ini. Ak pun tau aku tak mungkin bisa menggapai hati mu, untuk itu aku sengaja mengirim surat ini untuk mu. Aku mungkin seorang pecundang, pecundang yang tk berani mengatakan apa yang ku rasakan. Aku tau aku pengecut Ra..
Rara..
Aku mencintai mu..
Aku mencintai mu jauh sebelum Ridwan mengungkap kan perasaan nya pada mu.
Rara..
Aku tau, kau tak akan mungkin bisa melupakan sosok sahabat ku. Dan atas nama persahabatan.. aku pun tak mau merenggut hati mu dari almarhum sahabat ku.
Rara..
Ijinkan aku mencintai mu. Walau tanpa harus memiliki mu..
Pengagum mu: Chandra “
Setelah selesai membaca surat itu, aku melipatnya kembali. Ku pandangi wajah kak Ratna erat – erat. Aku ingin bersuara sedikit saja pada nya tentang perasaan ini, tapi rasanya aku keluh.
“kemarin kakak bertemu dia, dan dia menanyakan mu dek..” tutur kak ratna.
“aku telah membaca surat nya kak…, dan aku sama sekali nggak pernah menyangka bahwa ada perasaan lain selain sebagai sahabat di hatinya.”
“dia mencintia mu dek..”
“tapi aku nggak bisa kak.., aku telah mencintai sahabatnya. Aku mencintai Ridwan.”
“tapi dia telah pergi dang aka akan mungkin kembali. Sadarlah…” ucap kak Ratna menasehatiku.
“buka hati mu untuk menerima cinta yang lain.. di luar sana masih banyak yang mengharapkan cinta mu… belajarlah untuk menerima kenyataan. Dia telah pergi.. untuk selamanya dek…” lanjut kak Ratna sembari memeluk ku erat – erat. Aku menyandarkan kepalaku di bahu nya.
Yach, aku tau, Ridwan memang telah pergi. Pergi untuk selamanya. Aku tau tak ada harapan untuk bisa melihatnya kembali, selain hanya melihat nisan bisu tempat nya kini bermuara. Di lorong balap Ridwan terdampar… terpelanting di antara aspal yang terjal. Darah bercucuran menghambur luas memeluk keganasan waktu.
Ridwan telah pergi untuk selamanya. Dia pergi meninggalkan aku dan cinta kami disini, di antara sudut – sudut ruang yang bisu.
Aku masih menunggu mu…
Walau sekedar hanya bayangan semu…
*end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar