Aku rindu belaian ayah. Rindu semua tentang ayah. Setiap malam kusampaikan rindu untuk ayah, lewat hembusan angin yang ramah taktampak. Tapi ayah tak kunjung tiba. Mungkinkah Ia telah lupa? Pada aku dan juga Ibu?
**
Suatu hari aku dan Ibu duduk diberanda depan, sambil sesekali menikmati segelas teh hangat dan ubi rebus buatan ibu. Hampir tiga puluh menit kami diam tanpa kata. Mataku menerawang jauh, berusaha mencari kepastian tentang ayah. Tiba-tiba Ibu menarik jemariku dan menggenggamnya erat-erat. Ku arahkan pandanganku ke Ibu, ku tatap tajam mata Ibu dengan ribuan tanda-tanya yang tak menentu. Ibu menarik nafas sejenak, seperti hendak menggulung kepingan luka yang bergemuruh dihatinya.
“Kau sudah besar Seruni.., sudah seharusnya Kau tau…” Ucap Ibu dengan nada getir.
“Tau apa Bu? Apa yang selama ini Ibu rahasiakan dari Seruni?”
“Kau sayang Ibu nak?” Tiba-tiba Ibu melontarkan pertanyaan itu padaku. Aku mengangguk pasti, tanpa keraguan.
“Aku sangat menyayangi Ibu” Tegasku, sembari memeluknya. Aku tak tau apa yang ada di pikiran Ibu, tak juga paham apa yang membuat matanya berlinang.
“Kenapa Ibu menangis?” Tanyaku seraya melepas pelukanku.
“Ibu menyayangimu nak, Ibu harap Kau bisa berhenti memikirkan ayah.” Tegas Ibu. Aku semakin bingung menatap Ibu. Selama ini kami slalu bersama-sama menunggu ayah di perbatasan. Tapi kenapa hari ini Ibu berkata demikian? Atau mungkinkah Ia telah jemu.
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, aku tetap menunggu ayah diperbatasan, walaupun kini aku sendiri, tak ditemani Ibu lagi. Aku rindu dengan ayah, sangat rindu bahkan. Aku duduk diatas sebongkah kayu besar, di pinggir pantai berpasir putih ini. Sambil memandangi fhoto ayah yang diberikan Ibu padaku, aku terus berharap agar senja kali ini ayah datang. Aku sudah teramat rindu padanya.
“Apakah Ayah juga tidak akan datang hari ini? Padahal aku telah berjam-jam menunggu ayah disini. Kapan ayah pulang? 22tahun aku dan Ibu setia menunggu ayah diperbatasan ini, tapi kenapa kepastian itu tak juga ada? Sampai kapan ayah harus menghantui rindu diQalbuku?” Gumamku dalam hati.
Tiga bulan kemudian, aku sakit keras dan terbaring dirumah sakit. Ibu menemaniku melewati rasa sakit ini. Rasa sakit yang sebenarnya tak begitu nyeri jika dibandingkan rasa rinduku pada ayah. Jarum-jarum infus menjeratku, entah berapa jenis pil yang harus ku telan setiap harinya.
“Ibu.., Seruni rindu ayah…” Ucapku tertatih. Ibu menghapus air mataku, dan diciumnya keningku. Air matanya kembali berderai, menetes hingga kesudut bibirnya.
“Ibu jangan nangis..” Pintaku ketika melihat Ibu menangis.
“Seruni Cuma ingin bertemu ayah..” Ucapku lagi. Ibu mengguk pelan, penuh keraguan.
“Seruni tidur ya sayang.., nanti kalau Seruni sudah sembuh, kita akan sama-sama menunggu ayah diperbatasan nak.” Ucap Ibu akhirnya, sambil menyimpulkan senyuman getir yang nyaris hampa. Aku mengangguk pelan.
Malam kembali larut dalam kesunyian yang telah menjadi identitasnya. Senyap – sepi; seperti tak berpenghuni. Hanya detak-detak jam dinding yang bernyanyi disudut malam. Aku tertidur pulas dalam mimpi-mimpi semu.
Malam sepertinya tak asing lagi. Aku telah hafal syairnya. Dari A hingga ke Z. Kapan malam akan berubah? Aku bosan mendengar nyanyian detak jam dinding, atau gurauan sekelompok jangkrik. Sesekali aku ingin ayah yang bernyanyi..
**
Setelah berbulan-bulan terbaring lemah dirumah sakit, akhirnya aku diperbolehkan pulang. Aku dan Ibu kembali kerumah dan melakukan rutinitas seperti biasanya. Kami masih tetap menunggu ayah disetiap akhir bulan. Tapi sampai hari ini ayah tak kunjung tiba.
Suatu malam, saat aku dan Ibu nonton Tv, aku memberanikan diri bertanya tentang ayah lagi pada Ibu.
“Ibu, kenapa ayah tak pernah datang? Padahal Seruni sangat rindu padanya. Ibu.., kemana ayah sesungguhnya?” Tanyaku putus asa.
“Tau apa Bu? Ceritalah..” Pintaku penasaran.
“Maafkan Ibu nak, sebenarnya…………………..” Ibu menceritakan semuanya.
“Jadi penantian kita selama ini hanya omong kosong Bu?” Tanyaku nyeri. Ibu diam tanpa kata. Seraut wajahnya menggambarkan kekecewaan yang lama Ia sembunyikan.
Rasanya dadaku sesak, sangat sesak bahkan. Mimpi-mimpiku tentang ayah selama ini ternyata kosong. Aku hanya berfatamorgana, merajut harapan diseper-empat maya.
Akhirnya tanda-tanya yang selama ini tertimbun dibenakku pun terungkap. Semua telah terjawab secara rinci. Jawaban yang tak pernah ku inginkan sebelumnya. Jawaban yang seharusnya tak pernah ada! Yach, tak harus ada malahan.
Ayah yang semula kukira merantau dinegri orang, dan akan pulang disalah satu senja yang kami nanti, ternyata tidak. Ayah yang selama ini menghantui rinduku, ternyata sekedar fiktif belaka. Aku menanti sesuatu yang tak pernah ada. Sesuatu yang sebenarnya omong kosong yang tak bernyawa.
Jika yang disampingku bukan Ibu, yang selama ini menjagaku, merawat dan membesarkanku dengan keringatnya sendiri, mungkin akan kulemparkan sekarung makian untuknya. Tapi yang kenyataannya, yang aad disampingku adalah seorang Ibu yang rela bersusah-payah merawat dan membesarkanku dengan keringatnya. Seorang Ibu yang bersedia menyisihkan sebagian, bahkan hampir seluruh waktunya untukku.
Aku tak sanggup lagi berkata sepatahpun. Salju-salju bening semakin berlinang dimataku. Aku berusaha membendungnya agar tak sampai tumpah. Kuhela nafas panjang, dan kupeluk erat Ibuku.
“Seruni sayang Ibu..” Ucapku akhirnya. Ibu tak membalas kata-kataku. Hanya derai airmatanya yang seolah berbicara jujur tentang kepiluan hati.
“Maafkan Ibu nak,” Hanya kalimat singkat itu yang akhirnya terucap dari bibir Ibu.
Kusandarkan tubuhku ke badan kursi bambu di tepian pantai. Aku masih membiarkan desiran ombak menyapu kakiku. Membiarkan deru angin membelaiku ramah.
“aku benci ayah…!!!” Jeritku keras, seakan memecah senja kali ini.
Yach, aku benci ayah yang telah membuatku harus terlahir dan menyandang status anak haram. Aku benci ayah yang telah merampas kebahagian Ibu. Aku benci Dia! Dia yang telah menanamkan kepingan luka dinuraniku.
Kukepal kekesan yang terangkai indah sebagai penyesalan dihatiku. Kudekap erat-erat disanubariku kepiluan yang tak terlukis. Semua telah membusuk menjadi benalu-benalu, menjadi parasit yang selamanya akan ku benci.
“Good bye to all…” Bisikku dalam hati. Dalam nyeri yang tak terdefenisi.
*end.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar