Senin, 23 November 2009

Sebuah Kecupan dikeningku

By : Erny wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id


Aku masih menatap langit-langit malam dengan tatapan kosong. Aku mencoba membaca seberkas sinar yang terbias diaksara waktu. Berulangkali aku mendesah, menutup mata, dan mencoba berlari dari kenyataan. Namun tak bisa. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku, dan duduk disebelahku. Aku sempat menoleh kearahnya, nemun sebentar, dan kemudian kembali membiarkan mataku menatap pemandangan gelap.
“Seharian ibu lihat kau duduk diam dikursi bambu ini nak. Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya ibu padaku. Sekilas, kutatap wajah ibu dan tersenyum padanya, lalu kuhela nafas dalam-dalam.
“Didalam panas Bu. Aisyah tidak kenapa-kenapa.” Jawabku. Ibu menggeleng sambil tersenyum, seolah beliau tahu apa yang sebenarnya kusembunyikan.
“Tak ada yang bisa berdusta pada ibu nak, tidak juga matamu. Kau ingin menangis kan? Menangislah nak. Jika kau ingin menangis, menangislah dihadapan ibu. Tuangkan semua keluh kesahmu. Kau berhak mencurahkan air mata nak..,” Ucap ibu lagi.


Kutatap wajah ibu dalam-dalam. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa paham dengan apa yang kurasakan, padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya jauh diulu hatiku. Mataku tiba-tiba terasa berat, ada genangan yang hampir tumpah disana, namun aku tetap berusaha membendungnya. Bibirku bergetar, seakan ingin bicara banyak pada ibu. Tapi lidahku keluh, sekeluh tanda tanya dihatiku. Kupeluk tubuh ibu erat-erat, sangat erat bahkan! Ibu membalas pelukanku. Lama. Aku dan ibu berpelukan, lalu melepas pelukan itu pelan-pelan, sambil menumpahkan air mata yang tak mampu kubendung lagi. Kulihat mata ibu yang juga memerah, namun tak mengeluarkan butiran salju bening setetespun. Mungkin ia berusaha membendungnya dalam-dalam, sama seperti yang kulakukan tadi.


“Hidup ini realita nak. Hadapi saja apa adanya, jangan terlalu banyak menuntut pada nasib, percuma! Hidup ini sulit nak, tapi jika kau hadapi dengan ikhlas, kau akan menemui kemudahannya. Jangan terlalu banyak bermimpi, karena jika nanti kau terbangun dari mimpi-mimpimu, kau akan berontak pada kenyataan. Namun jika kau telah berani untuk bermimpi, kau harus siap untuk terbangun esok hari.” Ucap ibu lagi, seraya mencium keningku.

Aku masih terdiam bisu, mendengarkan gurauan jangkrik yang semakin merdu terdengar. Kubiarkan langkah kaki ibu yang semakin menjauh, meninggalkanku dikeheningan malam. Langit semakin tampak hitam! Kelam! Ibu benar! Semakin aku bermimpi, semakin sakit rasanya kehidupan yang kulalui. Tapi tanpa mimpi-mimpi itu, aku seperti hidup tanpa nyawa. Tak ada harapan yang bisa kubangun. Sekali lagi, entah untuk yang keberapa kalinya aku memejamkan mata, membaca kata-kata kelabu dihatiku.

**
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, selesai shalat subuh, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Tinggal detik-detik terakhir, aku menjalani hari-hari dibangku SMU ini. Setelah hari ini dan beberapa hari esok, aku tak tau pasti rutinitas apalagi yang harus kujalani. Didepan cermin, sejenak kupandangi diriku yang berdiri tegak dengan seragam putih abu-abu. Kulihat bayanganku dalam cermin itu erat-erat.
“Tinggal beberapa hari lagi..” bisikku dalam hati.

Sebenarnya aku ingin menangis, namun terlalu banyak rasanya air mata yang selama ini kutumpahkan. Lagipula untuk apa aku menangis? Toh dengan menangis aku juga tidak bisa menyelesaikan masalah.
Sama seperti hari-hari biasanya. Aku harus menempuh jarak beberapa kilo meter untuk sampai kesekolah dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain! Aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil, aku juga bukan anak pejabat negeri yang punya banyak uang saku. Sejak menginjakkan kaki disekolah ini, aku tak pernah menjamah kantin selain karena dibayarin teman-teman. Yach!

“Tuhan itu maha adil”. Itulah kata-kata yang kerapkali diucapkan ibu padaku. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing”, itulah nasehat-nasehat ibu. Aku memang tidak punya uang saku, tapi teman-teman selalu mentraktirku dikantin.

**
Aku telah sampai disekolahku tercinta. Belum banyak yang datang dihari sepagi ini. Hanya ada aku dan Benny, saingan beratku. Aku menyapanya dengan senyuman, dan dia pun membalasnya. Tidak seperti hari-hari biasanya. Begitu sampai dikelas, aku langsung membuka buku pelajaranku dan membacanya ulang. Hari ini kubiarkan saja tasku tergeletak didalam laci mejaku. Kulirik Benny yang masih asyik dengan bacaannya. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum padanya.

“Seandainya aku berada diposisimu..” Bisikku dalam hati, dalam isyarat tak bernada.
Benny teman sebangkuku. Setiapkali pembagian raport, peringkatku dengannya selalu bersaing. Kalau bukan aku yang juara pertama, pasti Benny. Begitu juga sebaliknya. Benny tidak jauh lebih pintar dari aku, buktinya saja, nilai-nilai kami hampir sejajar. Tapi Benny jauh lebih beruntung dariku. Dia terlahir dari keluarga yang berada. Tiba-tiba Benny memandangku saat aku sedang melontarkan pernyataan-pernyataan keluh dihatiku.
“Hei.., kenapa tidak buka buku?” Tanyanya. Aku tersenyum.
“Untuk apa?” Balikku bertanya.
“Ya belajarlah. Bukannya biasanya seperti itu?” Tanyanya lagi. Aku diam saja.
“Apa kau mau nilai-nilaimu dibawahku?” lanjutnya.

“Untuk apalagi aku belajar Ben? Kalau aku tahu, toh aku tidak akan pernah bisa melanjutkan kuliah..,” Ungkapku.
“Kau pesimis? Sejak kapan! Kau bukan Aisyah yang kukenal sekarang. Mana mimpi-mimpimu yang dulu! Yang selalu yang ceritakan padaku? Mana!”
“Sudahlah Ben.., bermimpi hanya akan membuatku semakin sakit. Aku sadar siapa aku.” Tuturku, seraya pergi meninggalkannya.

Siapa yang tidak ingin bermimpi? Siapa yang tidak ingin punya cita-cita! Aku! Dan orang-orang yang bernasib sama sepertikupun sebenarnya punya cita-cita. Namun garis tangan kami telah berkata lain. Mungkin tuhan telah memilihkan jalan terbaiknya lewat tangisan dan air mata kami.

**
Sepulang sekolah Benny mengajakku kepantai, awalnya aku menolak, tapi akhirnya aku menyetujuinya. Dengan sepeda motornya, kami melaju melawan angin hingga sampai dibibir pantai. Angin menyapa ramah, seakan bersahabat. Benny memarkirkan sepeda motornya didekat pintu masuk, lalu kami berjalan beriringan menuju tepi pantai. Deru suara ombak terdengar sangat ribut, namun terasa merdu. Sesekali ombak bergulung menyapu kaki kami. Dingin! Ini bukan yang pertama kalinya aku dan Benny menghabiskan waktu dipantai. Setiapkali jenuh, atau ada waktu luang, Benny selalu mengajakku ketempat ini. Apalagi disaat pikiranku keruh.

“Bermainlah bersama alam jika kau bosan menghadapi hari-harimu..” Itulah kata-kata yang selalu ucapkan padaku.

“Ben, aku lupa kapan pertama kalinya kau ajak aku ketempat ini” tanyaku.

“Kau masih ingat sewaktu kau tiba-tiba datang kesekolah dan menangis? Aku tanya kenapa, kau menjawab, ‘hidup ini kejam!’..” jawabnya, tanpa melirik kearahku.
“Ya! Lalu kita sama-sama cabut dari sekolah dan kau mengajakku ketempat ini. Ya kan?” sambungku, sambil tersenyum getir. Benny membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih getir. Sesaat suasana hening. Aku dan Benny sama-sama menikmati hembusan angin. Aku sempat mendapati Benny sesekali mencuri pandang kearahku, namun aku pura-pura tidak tahu. Benny merogoh kantongnya, lalu mengeluarkan selembar amplop dan menyodorkannya padaku. Aku mengambilnya.
“Apa ini Ben?” tanyaku penasaran.
“Bukalah, nanti juga kau akan tahu.” Jawabnya datar. Aku membukanya pelan-pelan. Aku baru membaca kop suratnya saja, namun dadaku terasa berdetak semakin kencang, jauh lebih kencang dari biasanya. “Schoolarship to Benny Wijaya in American University….”.

selesai membacanya aku langsung menutup surat itu kembali. Mataku memerah, tapi aku berusaha untuk tidak menangis. Kupandangi wajah sahabatku itu dan tersenyum dengan senyuman terindah yang kumiliki. Aku menyodorkan kembali surat itu kepadanya. Dia mengambilnya dan menyimpannya kembali disaku celananya.
“Jadi kau akan pergi?” tanyaku dengan nada getir.
“Aku tidak tau, harus pergi atau tidak! Sungguh! Aku takut kehilangan sahabat sepertimu.” Jawabnya.
“Pergilah Ben. Aku yakin aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi ingat, jika nanti kau telah berhasil, jangan lupakan aku ya?” pintaku. Benny tersenyum kecut. Lalu dipeluknya aku. Kemudian pelan-pelan dilepaskannya lagi.

**
Sungguh! Sebenarnya aku tak rela jika harus membiarkan Benny pergi, tetapi aku juga tidak ingin merebut mimpi-mimpinya. Dia telah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa itu. Dia berhak meraihnya. Toh, menyayanginya tidak harus membuatnya selalu ada didekatku. Membiarkan mencapai yang terbaik, itulah hakikat sayang yang sebenarnya. Waktu berjalan terlalu cepat. Seperti berlari mengejar rotasi waktu. Hari ini, dibandara ini, mungkin akan jadi saksi terakhir persahabatanku dengan Benny. Sirene pesawat mulai berbunyi, operator pun mulai mengingatkan agar penumpang segera masuk kedalam pesawat, karena pesawat sebentar lagi akan berangkat.

“Aku akan kembali Aisyah..” ucap Benny terakhir kalinya. Meyakinkanku.
“Aku percaya.” Jawabku yakin. Benny mencium keningku. Untuk pertamakalinya, dan mungkin juga yang terakhir, karena setelah hari ini, aku tak bisa memastikan apakah waktu masih bersedia mempertemukan kami lagi.

Gemuruh suara mesin pesawat seakan membuat jantungku terasa hampir lepas. Mataku terasa berat, dan darinya kemudian menetes butiran-butiran salju bening, membasahi wajahku. Kupandangi pesawat yang semakin menjauh. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kurasakan terhadap Benny. Selama ini kami hanya berteman, bersahabat! Tapi setelah hari ini, aku merasakan sesuatu yang hilang. Padahal belum ada lima menit Benny pergi dari kehidupanku, tapi rasanya Benny telah meninggalkanku entah berapa puluh abad. Aku kembali pulang kerumah. Sesampainya dirumah, kulihat ibu yang sedang menyelesaikan jahitannya. Yach! Setelah ayah tidak ada lagi, ibu mengisi waktunya untuk menerima pesanan jahitan dari tetangga. Dan hasilnya yang tak seberapa itu digunakan untuk biaya kehidupan kami sehari-hari dan juga untuk biaya sekolahku, meskipun terkadang tidak cukup, dan ibu terpaksa harus mengutang pada tetangga yang lain. Aku langsung menghampiri ibu. Membantunya memasang kancing-kancing baju yang telah selesai dijahit.

“Sudah berangkat Benny nak?” tanya ibu.
“Sudah Bu. Tadi sewaktu Aisyah mengantarnya ke Bandara, Benny memberikan kalung ini untuk Aisyah Bu. .,” tuturku, sambil menunjukkan sebuah kalung liontin dileherku. Ibu tersenyum.
“Kau mencintainya?” tanya ibu. Aku terdiam. Lalu tersenyum kecut.
“Tidak!” jawabku.
“Dia mencintaimu?” tanya ibu lagi.
“Tidak mungkin Bu.” Jawabku lagi. Ibu menepuk bahuku.
“Kau sudah dewasa nak, mencintai dan dicintai itu hak mu. Yang terpenting kau harus paham posisimu. Kita bukan orang kaya, jadi jangan terlalu banyak bermimpi nak. Karena jika nanti kau terbangun dari mimpi-mimpi itu, kau hanya akan mengeluh.” Nasehat ibu. “Aisyah paham Bu.” Jawabku.

**
Berhari-hari rasanya aku tak sabar untuk menunggu Benny pulang. Hampir dua bulan begitu saja. Tak ada khabar berita tentang Benny. Bahkan sepucuk surat pun tak pernah menghampiriku. Beragam tanda tanya mulai menghantui pikiranku. Mungkinkah dia telah lupa, atau karena masih terlalu sibukkah? Entahlah.. Aku tersu menunggu Benny. Bahkan terkadang aku kerapkali melihat bayangannya disudut mayaku. Dua bulan berikutnya, pak pos singgah kerumahku. Beliau membawa sebuah surat untukku. Yach! Dari Benny. Ini surat pertamanya.

“untuk Aisyahku.
Aisyah, aku telah sampai dan mulai menjalani hari-hari dinegara ini. Aku akan segera pulang ke indonesia begitu kuliahku selesai. Oya, bagaiman khabarmu sekarang? Aku masih berharap kau masih menyimpan kalung yang waktu itu kuberikan. Aku merindukanmu! Aisyah, ini nomor hp ku. Kuharap disuatu senja nanti kau bersedia menelphonku. 081264879819. Benny. “

Seandainya aku berhak mengatakan sesuatu, akupun ingin mengatakan bahwa aku merindukannya. Kukepal jemariku erat-erat. Kusimpan rindu diulu hati. Sejenak, anganku membayang disuatu siang, saat sebuah kecupan hangat singgah dikeningku. Mungkin itu salam perpisahan. Atau sebuah kalimat yang artinya bahwa dia akan kembali lagi. Entahlah..
*end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar