![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZaOQafbIpohtjkXFnTsqC4-FFXXqdBLdw3CWJVBocTGJWgz7G42iNMOAxMorpyRlABYlBJqLlUpZKB3vZbtJld33B21zn38mVX01TW1LkWgU8Xk_5B2ai2j2gNw5oj_oL2Z8ETLEd6jnO/s400/Copy+of+IMG0501A.jpg)
CEMBURU
Oleh : Erny wirdaningsih Email : an_tara_kita@yahoo.co.id Pelan-pelan rintik hujan mulai membasahi kaosku. Dingin semakin terasa menusuk sum-sum tulangku. Kurekatkan kedua tanganku dipinggang Dicka – pacarku. Sesekali masih sempat kulirik jam ditanganku yang jarumnya melekat pada angka setengah delapan malam. Aku tau, rasa dingin yang sama juga pasti dirasakan Dicka, apalagi celana yang dikenakannya basah kuyup akibat mandi-mandi di pantai tadi. Kasihan sekali dia. Rintik hujan semakin deras tak bersahabat. Dicka terus berusaha menaikkan gas sepeda motornya, sementara aku tetap melingkarkan tanganku dipinggangnya. Laju angin membuatku menggigil kedinginan, tapi aku berusaha untuk menutupinya dari Dicka. Aku tak ingin pikirannya semakin kacau untukku.
“Hujannya semakin deras ya dek?” ucapnya membuka perbincangan
“Iya. Dingin sekalipun malahan.” Jawabku. Sejenak suasana hening lagi, lalu pecah beberapa saat kemudian. “Rekatkan helmnya dek, biar gak kena’ hujan kepalanya. Nanti dia pening..” ucapnya. Akupun langsung memperbaiki posisi helmku yang memang agak kebesaran.
“Dia pasti lebih kedinginan dari Rara, ya kan?” tanyaku, tapi belum lagi dia sempat menjawab pertanyaanku yang pertama, aku sudah langsung menyodorkan kata-kata selanjutnya, “…Celana Dia basah kuyup, takutnya nanti Dia masuk angin lah..” khawatirku. “Nggak apa-apa kok dek..” jawabnya. “Yang penting Dia jangan sakit aja lah..” lanjutnya.
Ini adalah perjalanan entah yang keberapa sekian kalinya aku dan Dicka melewatinya bersama. Yach! Mungkin setahun bukan ukuran ‘baru’ untuk status kami. 12 bulan yang lalu, sewaktu makan siang dikantin kampus – aku masih ingat betul hari jadian itu. Dan seandainya saja aku memiliki mesin waktu, ingin kuputar kembali sejenak kenangan lucu itu.
**
Tepat entah di daerah mana ini, aku pun tak begitu paham – didepan pertamina, tiba-tiba Dicka menghentikan sepeda motornya.“Kenapa? Kok berhenti?” tanyaku
“Itu mereka..” jawabnya sambil menunjuk ke arah rombongan. Kuikuti jarinya dengan mataku.
Dicka memutarkan sepeda motornya menghampiri mereka. Aku tak berkomentar, karena aku tau kami pasti akan menghampiri mereka. Begitu kami sampai, salah seorang dari mereka langsung mengabarkan berita tak enak yang mengatakan bahwa salah satu sepeda motor teman kami bocor. Kami langsung mencari lokasi tempat penambalan ban. Dan tak jauh dari Pertamina itu, akhirnya kami pun menemukannya
. **
Entah perasaan apa ini, yang jelas sejak siang tadi hatiku derdegup tak karuan. Ada sebuah kerasiaan mungkin. Tapi entah dari siapa. Aku berusaha tenang, dan mengikuti arus ombak yang memaksaku untuk ceria sepanjang satu hari ini minimal, namun tetap saja hatiku galau. Bahkan diatas kereta sepanjang perjalanan pulang pun aku tetap membungkam seribu bahasa. Tak ada kata-kata. Padahal aku adalah orang yang paling akan berkomentar tentang liburan yang kami jalani biasanya, namun tidak untuk kali ini. Diam-diam tanpa sepengetahuan Dicka, kubuka tas ranselku yang didalamnya ada vene – sahabatku. Seharian vene ikut bersama kami menikmati liburan di pantai cermin itu.“Duh, Vene. Kamu pasti kecape’an ya kan? Sabar ya sayang…” ucapku pada Vene, meski tak sepatah pun terdengar Vene membalas kata-kataku.
Aku menghelus kening Vene yang mungil itu. Tak lama kemudian Dicka memberi isyarat bahwa kami akan segera melanjutkan perjalanan pulang. Aku cepat-cepat menutup rapat tas ranselku. Dicka menghampiriku, berdiri tepat dibelakang bangkuku. Aku beranjak dari dudukku, dan kami pun berjalan menuju sepeda motor. Dicka naik terlebih dahulu dan mulai menstarter sepeda motornya, baru kemudian aku menyusul naik. Sembari mengibaskan belaian angin yang tak bersahabat lagi, dua ban kereta Dicka terus melaju beringinan, berkejar-kejaran bak Roda waktu.
**
Akhirnya begitu jarum jam jatuh ke angka pukul sembilan malam, kami pun sampai di kost universal. Kost ku. Tanpa aba-aba lagi, akupun langsung turun dan masuk kedalam, Dicka mengikutiku. Ternyata didalam bang Abdi dan Mei sudah menunggu.“Kok lama kali kalian? “ pertanyaan Mei terlontar begitu kami berada tepat didepan pintu.
“Biasalah …” jawab Dicka sembari tersenyum kearah mereka. Aku juga ikut menjawab pertanyaan sahabatku itu dengan senyuman yang getir – yang mewakili resah dan kegalauan hati kecilku. “Dek, tolong ambilkan tas ya? Udah malam ini..” ucap Dicka sedikit berbisik ditelingaku sambil merangkul pundakku. Aku mengangguk dan langsung pergi.
Satu persatu anak tangga kulewati. Tiba-tiba aku teringat pada hp Dicka yang masih kukantongi. Aku penasaran ingin membuka inboxnya. Tapi akutak berani. Kuurungkan niatku. Tetapi tepat didepan pintu kamarku, perasaan ingin tahu itu semakin membabi buta menggebu-gebu dibenakku. Dan tanpa berpikir lagi aku langsung menekan keypad nya untuk membuka kunci nya terlebih dahulu. Lagu masuk ke message dan menuju inbox. Satu persatu kubaca, dan tepat disalah satu message air mataku berlinang. Sebuah pesan yang cukup merobek hatiku dari seorang wanita bernama Lenny yang tak pernah ku tau siapa dia. Saat itu aku benar-benar hancur dan sama sekali tak menyangka kalau Dicka tega melakukan itu padaku. Lalu, untuk memastikan siapa sebenarnya Lenny itu, aku pun membuka send message nya. Dan disaat itu aku benar-banar tak mampu berkata apa-apa lagi selain cucuran air mata yang mewakili pedihnya hatiku. Sejenak aku teringat akan tas laptop Dicka yang masih berada didalam kamarku. Ajku cepat-cepat membuka kunci kamarku dan langsung mengambil tas nya. Saat aku akan keluar, tiba-tiba Mei menelphoneku. Aku mengangkatnya. “Ra, sekalian bawa jacket untuk Dicka ya?” “ya..” jawabku singkat. Dan kemudian keluar dengan sisa-sisa kekecewaan yang masih membekas didua bola mataku. Pelan-pelan kuturuni anak tangga satu persatu dengan sangat hati-hati. Sesampainya dibawah, aku langsung memberikan tas dan jacket kepada Dicka. Saat dia ingin berpamitan pulang, kuraih tangannya seperti biasanya. Kusalami dia dengan mencium telapak tangan selebah kanannya dan menempelkannya sejenak dipipiku yang masih dingin oleh sisa-sisa embun malam. Begitu Dicka keluar dari pintu, aku langsung membalikkan tubuhku dan berjalan menuju kamarku masih dengan perasaan kesal.
**
Seharusnya aku tidak membuka inbox di hpnya tadi agar aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seharusnya ini akan menjadi liburan peling menyenangkan, karena tadi siang ditengah deru ombak pantai yang banyak orang menamainya pantai cermin itu, Dicka bersikap sangat mesra padaku. Dan masih terngiang diujung benakku saat tiba-tiba dia mengangkatku diam-diam, dan aku merangkul pundaknya. Akh… seandainya pun ini fatamorgana, setidaknya aku bangga pernah larut dalam fatamorgana itu. Tapi kenapa Dicka tega mengkhianatiku? Kenapa dia tega mempermainkan perasaanku? Padahal aku mencintai dia – bahkan lebih dari sebuah cinta yang pernah kutitipkan dihati Ridwan. Akh… Masih terasa begitu sesak rasa dijiwaku. Aku tidak ingin menjadi seorang yang lemah hanya untuk cinta. Aku tidak ingin membuang air mataku hanya untuk seseorang yang telah mengkhianatiku. Terlalu banyak luka yang masih membekas didadaku, dan perih itu pun masih sangat menyayatku. Aku tidak ingin luka yang baru akan menambah rasa sakit itu. Tidak!**
Ingin kupejamkan saja mata ini agar tak lagi kuingat sebait sms yang tadi kulihat diinboxnya. Namun mataku masih tak bias tertutup, bahakan untuk sekedar pura-pura tidur saja pun tak bisa. “ddrrrrrrrrrrrrrreeeeeeeeetttttttt………….” Getar suara hp membuyarkan lamunanku. Kubuka, dan ternyata sebuah pesan singkat dari Dicka yang mengingatkanku untuk jangan tyerlalu larut malam tidur dan banyak minum air putih untuk kelancaran kerja ginjal. Aku tidak ingin membuang pulsa ku hanya untuk orang yang telah menggoreskan luka dihatiku. Bahkan untuk sekali sms pun! Meski gratis. Sekali lagi, pesan baru pun muncul dan aku segera membukanya. Masih dengan nama pengirim yang sama. Aku tak tega jika harus tidak membalas sms itu. Akhirnya kuketik beberapa kalimat dan kukirimkan padanya.“..ya, Rara udah makan malam dan udah mau tidur. Lenny itu siapa?” Tanyaku masih dengan rasa penasaran. Lama aku menunggu balasan sms nya.
Mungkin saat itu Dicka sedang merangkai kata-kata untuk menjawab sms ku, atau mungkin dia sedang merangkai kebohongan yang lain untuk menipu hatiku. Terserah!
“ehem.., dia jangan beranggapan aneh ya? Tolong. Lenny itu teman baik Dicka (teman 1 genk) disekolah dulu…” akhirnya balasan sms nya pun samapi juga di inbox ku. Kudiamkan saja, tak kubalas. Hambar sudah kepercayaanku untuknya. Hingga akhirnya dia pun mengirimkan pesan untuk yang kedua kalinya. “Lenny itu sailermon, Dicka …kingkong…, kalau kalenk…Dinasaurus. Kan sailermon identik dengan cahaya. Seharusnya Dicka tulis cahaya kami, bukan cahaya Dicka……” jelasnya via sms. “Ya, Rara percaya! Sudahlah.” Balasku tak ingin memperpanjang kisah lagi.
**
Terlalu sering aku sakit hati untuknya – untuk orang yang mungkin tidak pernah mencintaiku, meski seringkali dia mengatakan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Entahlah… **
Cinta adalah gambaran misteri yang terkadang selalu membuat luka dan menanamkan kekecewaan. Seandainya bias kuputar kembali waktu, sungguh! aku masih ingin melewati hari-hari dengan mantan kekasihku. Mantan kekasih yang dulu punya banyak waktu untukku, bahkan disaat dia sibuk sekalipun. Cinta memang tak bis dipaksakan. Kadangkala disaat cinta itu pergi kita baru benar-benar sadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu. Yach! Kita hanya akan sadar pernah memiliki disaat kita telah kehilangannya. Begitu juga aku! Dan kuharap, ini bukan hokum karma. Aku tidak ingin mencintai Dicka jika seandainya Cinta itu akan menanamkan luka untukku. Aku tidak ingin melukai hatiku sendiri dan membiarkan korneaku terus-terusan mencurahkan ribuan tetes air mata. Terlalu sering rasanya aku menangis. **
Cinta. Seandainya rasa itu palsu, kumohon ungkapkanlah.. Agar ku tahu bagaimana cara untuk melupakanmu. Cinta. Jika bukan aku cahaya bagimu Biarkan kuberikan cahayaku untuk dia yang mencintaiku Agar kau pun bias memberikan cahayamu untuk dia yang kau cinta. *end
Tidak ada komentar:
Posting Komentar