Sabtu, 28 November 2009

Bangun Tidur (28/11/2009)

Hoam…. Masih ngantuk, sambil kucek-kucek mata aku pun mengambil hp ku yang tergeletak gak jauh dari bantalku. Pertama sekali kulihat dulu di layar,
“Eh, ternyata keong jahat yang nelphon”.
“ehem—ehem…” aku stel dulu dech suara ku, biar gak kentara baru bangun tidur. Tapi gak tau nya ketahuan juga. Haha… (jadi malu deh).

Tumben hari sabtu pagi-pagi gini keong nelphon aku, padahal biasanya gak pernah tuh! Maklumlah.. ini kan jadwal dia kerja (sibuk). Tapi seneng deh…
“hallo….” Jawabku setelah menekan tombol ok di keypad hp ku.
“ikh…, dia ngapain?” tanya keong usil.
“gak ada…” suaraku manja.
“dia baru bangun ya? haQhaQ…” ketawa keong yang khas.

Akh… ketahuan deh, tapi gak apa-apa deh. Toh, Cuma keong kok. Lagian ngapain lagi ditutup-tutupin? Udah setahun lho…
“haQhaQ…” tawaku meniru gaya ketawa keong.
**
Aku inget-inget tanggal dech.. Ternyata hari ini tanggal 28 november 2009, tepatnya jam 09:15 wib. Aku langsung buat tulisan dan selanjutnya posting di blog ini, biar suatu saat nanti kalau semua harus jadi kenangan, aku pernah memiliki kenangan indah bersamanya. Dan kalau vene dewasa nanti.. dia bisa baca kisah singkat di blog ini. “cepat besar ya vene….”. hehe

Tersenyum---tersenyum dan tersenyumlah. Agar orang-orang disekitar kita bisa melihat keceriaan dan kebahagiaan kita. Aku janji deh, mulai hari ini dan seterusnya aku tidak akan pernah mengeluh lagi. (apa pun itu).

Aku akan berusaha untuk tetap tersenyum dan terus ceria, meski kepenatan terbenam di benakku. Aku akan tersenyum untuk orang-orang yang kusayangi dan untuk orang-orang yang menyayangiku.

“sstt…., diam-diam ya? Ini fhoto bangun tidur lho?? Gak pake’ photoshop pulak itu. Jangan bilang-bilang ya?"
Lihat tuh jerawatnya kelihatan banget. Ini jerawat kengen ne.. (kangen sama…). Bye.. sampai ketemu di postingan selanjutnya.

Jumat, 27 November 2009

Pantai Tirta

Pantai TIRTA (27/11/2009)
----------------------------------------------------------

Ini dilokasi Pantai Tirta. Dari medan terus aja ampe’ padang bulan (simpang pos) lalu belok kiri, ikuti za arus jalan (hehe…). Suasana disini hampir sama seperti waktu di si biru-biru tempo hari. Desiran airnya, bebatuan sungainya, dan pohon-pohon disekitarnya juga hampir sama. Hampir serupa juga sewaktu di simbahe pas bareng sama rombongan bang faizal dan dicky. Hanya saja, satu hal yang membuat suasana disini itu beda, yaitu…. (gak da some1).

Seharusnya ini moment yang asyik, karena kebetulan hari ini lebaran haji (idul adha), tapi suasana jadi gak enakan gara-gara ada temen yang lagi gak enakan juga sama seseorang yang mau pe-de-kate sama dia.
Uuppss… Aku belum kenalin ya rombongan tour kali ini? Mulai dari yang depan ya? Hehe.. Yang paling depan itu Mei Naibaho, dibelakangnya ada aku (Erny wirda), lalu selanjutnya Mei Sartika, dan yang kaos ungu itu kak Novi (teman satu kost kami).
**
Suasana sewaktu kami berangkat dari rumah sebenarnya oke sich.. (cuaca terang benderang & matahari panas… banget). Tapi begitu kami sampai di sebuah lokasi yang kebanyakan orang menyebutnya “Pantai Tirta” itu tiba-tiba langit mulai tampak mendung, angin bersahutan dan deru suara air semakin memburu. Aku dan teman-teman tertarik untuk turun ke air sambil menikmati percikan-percikan air yang dingin itu. Akhirnya kami berempat mencari toilet untuk ganti pakaian. Eh, ditengah jalan kami ketemu dua orang cowok dari kampus Amik MBP (kalau gak gak salah ya?), mereka berdua yang mengambilkan gambar untuk kami. Nich dia hasil jepretan mereka.

Hehe… ……lihatlah dua orang cowok yang ‘nyelip’ itu. Mereka adalah dua orang mahasiswa asal Medan yang juga lagi menikmati libuan ditempat ini. (Amik MBP kampusnya). Akh… Ini adalah liburan yang sama sekali gak berkesan selama liburan yang pernah kujalani sebelum-sebelumnya. Moment spesial juga gak ada disini.

Mulai berangkat… tiba dilokasi…. Sampai pulang lagi kerumah, aku terus ke’inget sama seseorang yang belum membalas sms ku. Aku sempat sms pacarku sebelum berangkat tadi, untuk minta ijin pergi jalan sama teman-teman, tetapi sampai sekarang belum ada balasan. Mungkin itu juga sich yang membuat hatiku gak tenang.
**

ahahaha….. ne efek gara-gara gak da cowok ne.. (makannya peluk pohon). Kasian banget ya? J Namanya juga Mis. Narcis.com, meski suasana badmood pun tetap aja berusaha happy..

Lihat tuh rambutku… Berantakan kali ya? Hehe.. Gile bener ne si Mei.. Patah ne pinggang gua.. Aku sama kak novi ngapain ya?? Hemm… Aku sama kak Novi sama-sama lagi merenung tentang seseorang yang sekarang gak ada ikut bersama kami.



Aku lagi ngerenungin Dicky.. (sok… ), sedangkan kak Novi lagi ngerenungin cowoknya yang gak da disini.. (gak tau tuh kemana).

**
Eh, tau gak? Baru kali ne lho aku liburan pake’ baju warna merah.. Padahal biasanya aku paling suka kalau ge liburan itu pake’ baju nya warna putih. Karena.. putih itu netral Tapi kalau dipikir-pikir pakai merah juga oke kok… Hehe.. Narcis ya??

Rabu, 25 November 2009

Pantai Cermin

Pantai Cermin (20/11/2009)
--------------------------------------------------------------------------

20 November 2009 lalu, tepatnya hari jum’at. Ini adalah sebuah perjalanan singkat yang awalnya enggan tuk ku ikuti. (maklumlah, lagi banyak problem).

Meski awalnya berangkat dengan perasaan yang gak karuan, namun akhirnya tetap terasa begitu hangat dan ceria, walau sesekali saat aku sendiri, aku teringat lagi dengan setumpuk masalah-masalah yang tertimbun dibenakku.

Terima kasih sebelumnya untuk orang-orang yang telah membuatku tertawa lepas selama dipantai ini. Untuk kekasihku – Dicky (Terutama & Special Thank’z), untuk Budi Setiawan (yang telah membuat suasana siang menjelang sore itu ceria), untuk bang Abdi Rosuli (yang menyemangati kepergian ini), untuk Mei sartika (yang paling narcis dot com), dan untuk Mei Naibaho (yang paling kocak).
Berkat kalian semua aku bisa tertawa lepas, meski sebenarnya jika boleh jujur saat itu aku ikut kalian hanya ingin bisa berteriak lepas menuangkan unek-unek didadaku.


**
Ini adalah moment paling menyenangkan selama seharian di pantai cermin. Seseorang yang ditimbun didalam gundukan pasir itu adalah Busyet (Budi Setiawan), dia lah yang membuat suasana ceria – dengan kekocakan nya dan dengan semua tingkah-tingkah konyolnya aku benar-benar merasa terlepas dari dunia nyataku. Aku bisa tertawa lepas, sampai meneteskan air mata saking bahagia nya. (Thank’z ya my Frenz). J

Disebelah kanan Busyet ada Bang Abdi, lalu disebelahnya lagi ada Mei Sartika (Mis. Narcis.com) :-D

Dan orang special yang ada didepanku itu adalah Dicky. Walau semuanya membuat lelucon-lelucon konyol sekalipun, tapi tetap saja, dialah orang pertama yang membuatku ceria dan menikmati liburan ini. Walau Dicky sering buat kesal, sering buat jengkel, dan sejenisnya, tapi tetap saja …. (sensor).

**
………saat perjalanan pulang, salah stu kereta rombongan kami bocor, kami berhenti disalah satu pertamina untuk isi bensin, dan melanjutkan perjalanan untuk mencari tempat penambalan ban terdekat. (untungnya tidak terlalu jauh).

Setelah selesai, kami kembali melanjutkan perjalanan pulang sambil menikmati dinginnya angin malam dan rintikan hujan yang seolah ikut menjadi bagian dari kebahagiaan siang hingga petang ini.

**
Perjalanan yang menyenangkan!
Terima kasih ya sobat…


Hemm........... :-)

Senin, 23 November 2009

Sebuah Kecupan dikeningku

By : Erny wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id


Aku masih menatap langit-langit malam dengan tatapan kosong. Aku mencoba membaca seberkas sinar yang terbias diaksara waktu. Berulangkali aku mendesah, menutup mata, dan mencoba berlari dari kenyataan. Namun tak bisa. Tiba-tiba ibu datang menghampiriku, dan duduk disebelahku. Aku sempat menoleh kearahnya, nemun sebentar, dan kemudian kembali membiarkan mataku menatap pemandangan gelap.
“Seharian ibu lihat kau duduk diam dikursi bambu ini nak. Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya ibu padaku. Sekilas, kutatap wajah ibu dan tersenyum padanya, lalu kuhela nafas dalam-dalam.
“Didalam panas Bu. Aisyah tidak kenapa-kenapa.” Jawabku. Ibu menggeleng sambil tersenyum, seolah beliau tahu apa yang sebenarnya kusembunyikan.
“Tak ada yang bisa berdusta pada ibu nak, tidak juga matamu. Kau ingin menangis kan? Menangislah nak. Jika kau ingin menangis, menangislah dihadapan ibu. Tuangkan semua keluh kesahmu. Kau berhak mencurahkan air mata nak..,” Ucap ibu lagi.


Kutatap wajah ibu dalam-dalam. Aku tak mengerti bagaimana ibu bisa paham dengan apa yang kurasakan, padahal aku sudah berusaha menyembunyikannya jauh diulu hatiku. Mataku tiba-tiba terasa berat, ada genangan yang hampir tumpah disana, namun aku tetap berusaha membendungnya. Bibirku bergetar, seakan ingin bicara banyak pada ibu. Tapi lidahku keluh, sekeluh tanda tanya dihatiku. Kupeluk tubuh ibu erat-erat, sangat erat bahkan! Ibu membalas pelukanku. Lama. Aku dan ibu berpelukan, lalu melepas pelukan itu pelan-pelan, sambil menumpahkan air mata yang tak mampu kubendung lagi. Kulihat mata ibu yang juga memerah, namun tak mengeluarkan butiran salju bening setetespun. Mungkin ia berusaha membendungnya dalam-dalam, sama seperti yang kulakukan tadi.


“Hidup ini realita nak. Hadapi saja apa adanya, jangan terlalu banyak menuntut pada nasib, percuma! Hidup ini sulit nak, tapi jika kau hadapi dengan ikhlas, kau akan menemui kemudahannya. Jangan terlalu banyak bermimpi, karena jika nanti kau terbangun dari mimpi-mimpimu, kau akan berontak pada kenyataan. Namun jika kau telah berani untuk bermimpi, kau harus siap untuk terbangun esok hari.” Ucap ibu lagi, seraya mencium keningku.

Aku masih terdiam bisu, mendengarkan gurauan jangkrik yang semakin merdu terdengar. Kubiarkan langkah kaki ibu yang semakin menjauh, meninggalkanku dikeheningan malam. Langit semakin tampak hitam! Kelam! Ibu benar! Semakin aku bermimpi, semakin sakit rasanya kehidupan yang kulalui. Tapi tanpa mimpi-mimpi itu, aku seperti hidup tanpa nyawa. Tak ada harapan yang bisa kubangun. Sekali lagi, entah untuk yang keberapa kalinya aku memejamkan mata, membaca kata-kata kelabu dihatiku.

**
Pagi-pagi sekali aku sudah bangun, selesai shalat subuh, aku langsung mandi dan bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Tinggal detik-detik terakhir, aku menjalani hari-hari dibangku SMU ini. Setelah hari ini dan beberapa hari esok, aku tak tau pasti rutinitas apalagi yang harus kujalani. Didepan cermin, sejenak kupandangi diriku yang berdiri tegak dengan seragam putih abu-abu. Kulihat bayanganku dalam cermin itu erat-erat.
“Tinggal beberapa hari lagi..” bisikku dalam hati.

Sebenarnya aku ingin menangis, namun terlalu banyak rasanya air mata yang selama ini kutumpahkan. Lagipula untuk apa aku menangis? Toh dengan menangis aku juga tidak bisa menyelesaikan masalah.
Sama seperti hari-hari biasanya. Aku harus menempuh jarak beberapa kilo meter untuk sampai kesekolah dengan berjalan kaki. Tak ada pilihan lain! Aku bukan anak orang kaya yang bisa pergi dan pulang sekolah diantar jemput mobil, aku juga bukan anak pejabat negeri yang punya banyak uang saku. Sejak menginjakkan kaki disekolah ini, aku tak pernah menjamah kantin selain karena dibayarin teman-teman. Yach!

“Tuhan itu maha adil”. Itulah kata-kata yang kerapkali diucapkan ibu padaku. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing”, itulah nasehat-nasehat ibu. Aku memang tidak punya uang saku, tapi teman-teman selalu mentraktirku dikantin.

**
Aku telah sampai disekolahku tercinta. Belum banyak yang datang dihari sepagi ini. Hanya ada aku dan Benny, saingan beratku. Aku menyapanya dengan senyuman, dan dia pun membalasnya. Tidak seperti hari-hari biasanya. Begitu sampai dikelas, aku langsung membuka buku pelajaranku dan membacanya ulang. Hari ini kubiarkan saja tasku tergeletak didalam laci mejaku. Kulirik Benny yang masih asyik dengan bacaannya. Tanpa sepengetahuannya aku tersenyum padanya.

“Seandainya aku berada diposisimu..” Bisikku dalam hati, dalam isyarat tak bernada.
Benny teman sebangkuku. Setiapkali pembagian raport, peringkatku dengannya selalu bersaing. Kalau bukan aku yang juara pertama, pasti Benny. Begitu juga sebaliknya. Benny tidak jauh lebih pintar dari aku, buktinya saja, nilai-nilai kami hampir sejajar. Tapi Benny jauh lebih beruntung dariku. Dia terlahir dari keluarga yang berada. Tiba-tiba Benny memandangku saat aku sedang melontarkan pernyataan-pernyataan keluh dihatiku.
“Hei.., kenapa tidak buka buku?” Tanyanya. Aku tersenyum.
“Untuk apa?” Balikku bertanya.
“Ya belajarlah. Bukannya biasanya seperti itu?” Tanyanya lagi. Aku diam saja.
“Apa kau mau nilai-nilaimu dibawahku?” lanjutnya.

“Untuk apalagi aku belajar Ben? Kalau aku tahu, toh aku tidak akan pernah bisa melanjutkan kuliah..,” Ungkapku.
“Kau pesimis? Sejak kapan! Kau bukan Aisyah yang kukenal sekarang. Mana mimpi-mimpimu yang dulu! Yang selalu yang ceritakan padaku? Mana!”
“Sudahlah Ben.., bermimpi hanya akan membuatku semakin sakit. Aku sadar siapa aku.” Tuturku, seraya pergi meninggalkannya.

Siapa yang tidak ingin bermimpi? Siapa yang tidak ingin punya cita-cita! Aku! Dan orang-orang yang bernasib sama sepertikupun sebenarnya punya cita-cita. Namun garis tangan kami telah berkata lain. Mungkin tuhan telah memilihkan jalan terbaiknya lewat tangisan dan air mata kami.

**
Sepulang sekolah Benny mengajakku kepantai, awalnya aku menolak, tapi akhirnya aku menyetujuinya. Dengan sepeda motornya, kami melaju melawan angin hingga sampai dibibir pantai. Angin menyapa ramah, seakan bersahabat. Benny memarkirkan sepeda motornya didekat pintu masuk, lalu kami berjalan beriringan menuju tepi pantai. Deru suara ombak terdengar sangat ribut, namun terasa merdu. Sesekali ombak bergulung menyapu kaki kami. Dingin! Ini bukan yang pertama kalinya aku dan Benny menghabiskan waktu dipantai. Setiapkali jenuh, atau ada waktu luang, Benny selalu mengajakku ketempat ini. Apalagi disaat pikiranku keruh.

“Bermainlah bersama alam jika kau bosan menghadapi hari-harimu..” Itulah kata-kata yang selalu ucapkan padaku.

“Ben, aku lupa kapan pertama kalinya kau ajak aku ketempat ini” tanyaku.

“Kau masih ingat sewaktu kau tiba-tiba datang kesekolah dan menangis? Aku tanya kenapa, kau menjawab, ‘hidup ini kejam!’..” jawabnya, tanpa melirik kearahku.
“Ya! Lalu kita sama-sama cabut dari sekolah dan kau mengajakku ketempat ini. Ya kan?” sambungku, sambil tersenyum getir. Benny membalasnya dengan senyuman yang jauh lebih getir. Sesaat suasana hening. Aku dan Benny sama-sama menikmati hembusan angin. Aku sempat mendapati Benny sesekali mencuri pandang kearahku, namun aku pura-pura tidak tahu. Benny merogoh kantongnya, lalu mengeluarkan selembar amplop dan menyodorkannya padaku. Aku mengambilnya.
“Apa ini Ben?” tanyaku penasaran.
“Bukalah, nanti juga kau akan tahu.” Jawabnya datar. Aku membukanya pelan-pelan. Aku baru membaca kop suratnya saja, namun dadaku terasa berdetak semakin kencang, jauh lebih kencang dari biasanya. “Schoolarship to Benny Wijaya in American University….”.

selesai membacanya aku langsung menutup surat itu kembali. Mataku memerah, tapi aku berusaha untuk tidak menangis. Kupandangi wajah sahabatku itu dan tersenyum dengan senyuman terindah yang kumiliki. Aku menyodorkan kembali surat itu kepadanya. Dia mengambilnya dan menyimpannya kembali disaku celananya.
“Jadi kau akan pergi?” tanyaku dengan nada getir.
“Aku tidak tau, harus pergi atau tidak! Sungguh! Aku takut kehilangan sahabat sepertimu.” Jawabnya.
“Pergilah Ben. Aku yakin aku tidak akan pernah melupakanmu. Tapi ingat, jika nanti kau telah berhasil, jangan lupakan aku ya?” pintaku. Benny tersenyum kecut. Lalu dipeluknya aku. Kemudian pelan-pelan dilepaskannya lagi.

**
Sungguh! Sebenarnya aku tak rela jika harus membiarkan Benny pergi, tetapi aku juga tidak ingin merebut mimpi-mimpinya. Dia telah berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa itu. Dia berhak meraihnya. Toh, menyayanginya tidak harus membuatnya selalu ada didekatku. Membiarkan mencapai yang terbaik, itulah hakikat sayang yang sebenarnya. Waktu berjalan terlalu cepat. Seperti berlari mengejar rotasi waktu. Hari ini, dibandara ini, mungkin akan jadi saksi terakhir persahabatanku dengan Benny. Sirene pesawat mulai berbunyi, operator pun mulai mengingatkan agar penumpang segera masuk kedalam pesawat, karena pesawat sebentar lagi akan berangkat.

“Aku akan kembali Aisyah..” ucap Benny terakhir kalinya. Meyakinkanku.
“Aku percaya.” Jawabku yakin. Benny mencium keningku. Untuk pertamakalinya, dan mungkin juga yang terakhir, karena setelah hari ini, aku tak bisa memastikan apakah waktu masih bersedia mempertemukan kami lagi.

Gemuruh suara mesin pesawat seakan membuat jantungku terasa hampir lepas. Mataku terasa berat, dan darinya kemudian menetes butiran-butiran salju bening, membasahi wajahku. Kupandangi pesawat yang semakin menjauh. Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang kurasakan terhadap Benny. Selama ini kami hanya berteman, bersahabat! Tapi setelah hari ini, aku merasakan sesuatu yang hilang. Padahal belum ada lima menit Benny pergi dari kehidupanku, tapi rasanya Benny telah meninggalkanku entah berapa puluh abad. Aku kembali pulang kerumah. Sesampainya dirumah, kulihat ibu yang sedang menyelesaikan jahitannya. Yach! Setelah ayah tidak ada lagi, ibu mengisi waktunya untuk menerima pesanan jahitan dari tetangga. Dan hasilnya yang tak seberapa itu digunakan untuk biaya kehidupan kami sehari-hari dan juga untuk biaya sekolahku, meskipun terkadang tidak cukup, dan ibu terpaksa harus mengutang pada tetangga yang lain. Aku langsung menghampiri ibu. Membantunya memasang kancing-kancing baju yang telah selesai dijahit.

“Sudah berangkat Benny nak?” tanya ibu.
“Sudah Bu. Tadi sewaktu Aisyah mengantarnya ke Bandara, Benny memberikan kalung ini untuk Aisyah Bu. .,” tuturku, sambil menunjukkan sebuah kalung liontin dileherku. Ibu tersenyum.
“Kau mencintainya?” tanya ibu. Aku terdiam. Lalu tersenyum kecut.
“Tidak!” jawabku.
“Dia mencintaimu?” tanya ibu lagi.
“Tidak mungkin Bu.” Jawabku lagi. Ibu menepuk bahuku.
“Kau sudah dewasa nak, mencintai dan dicintai itu hak mu. Yang terpenting kau harus paham posisimu. Kita bukan orang kaya, jadi jangan terlalu banyak bermimpi nak. Karena jika nanti kau terbangun dari mimpi-mimpi itu, kau hanya akan mengeluh.” Nasehat ibu. “Aisyah paham Bu.” Jawabku.

**
Berhari-hari rasanya aku tak sabar untuk menunggu Benny pulang. Hampir dua bulan begitu saja. Tak ada khabar berita tentang Benny. Bahkan sepucuk surat pun tak pernah menghampiriku. Beragam tanda tanya mulai menghantui pikiranku. Mungkinkah dia telah lupa, atau karena masih terlalu sibukkah? Entahlah.. Aku tersu menunggu Benny. Bahkan terkadang aku kerapkali melihat bayangannya disudut mayaku. Dua bulan berikutnya, pak pos singgah kerumahku. Beliau membawa sebuah surat untukku. Yach! Dari Benny. Ini surat pertamanya.

“untuk Aisyahku.
Aisyah, aku telah sampai dan mulai menjalani hari-hari dinegara ini. Aku akan segera pulang ke indonesia begitu kuliahku selesai. Oya, bagaiman khabarmu sekarang? Aku masih berharap kau masih menyimpan kalung yang waktu itu kuberikan. Aku merindukanmu! Aisyah, ini nomor hp ku. Kuharap disuatu senja nanti kau bersedia menelphonku. 081264879819. Benny. “

Seandainya aku berhak mengatakan sesuatu, akupun ingin mengatakan bahwa aku merindukannya. Kukepal jemariku erat-erat. Kusimpan rindu diulu hati. Sejenak, anganku membayang disuatu siang, saat sebuah kecupan hangat singgah dikeningku. Mungkin itu salam perpisahan. Atau sebuah kalimat yang artinya bahwa dia akan kembali lagi. Entahlah..
*end.
CEMBURU
Oleh : Erny wirdaningsih Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Pelan-pelan rintik hujan mulai membasahi kaosku. Dingin semakin terasa menusuk sum-sum tulangku. Kurekatkan kedua tanganku dipinggang Dicka – pacarku. Sesekali masih sempat kulirik jam ditanganku yang jarumnya melekat pada angka setengah delapan malam. Aku tau, rasa dingin yang sama juga pasti dirasakan Dicka, apalagi celana yang dikenakannya basah kuyup akibat mandi-mandi di pantai tadi. Kasihan sekali dia.
Rintik hujan semakin deras tak bersahabat. Dicka terus berusaha menaikkan gas sepeda motornya, sementara aku tetap melingkarkan tanganku dipinggangnya. Laju angin membuatku menggigil kedinginan, tapi aku berusaha untuk menutupinya dari Dicka. Aku tak ingin pikirannya semakin kacau untukku.
“Hujannya semakin deras ya dek?” ucapnya membuka perbincangan
“Iya. Dingin sekalipun malahan.” Jawabku. Sejenak suasana hening lagi, lalu pecah beberapa saat kemudian. “Rekatkan helmnya dek, biar gak kena’ hujan kepalanya. Nanti dia pening..” ucapnya. Akupun langsung memperbaiki posisi helmku yang memang agak kebesaran.
“Dia pasti lebih kedinginan dari Rara, ya kan?” tanyaku, tapi belum lagi dia sempat menjawab pertanyaanku yang pertama, aku sudah langsung menyodorkan kata-kata selanjutnya, “…Celana Dia basah kuyup, takutnya nanti Dia masuk angin lah..” khawatirku. “Nggak apa-apa kok dek..” jawabnya. “Yang penting Dia jangan sakit aja lah..” lanjutnya.

Ini adalah perjalanan entah yang keberapa sekian kalinya aku dan Dicka melewatinya bersama. Yach! Mungkin setahun bukan ukuran ‘baru’ untuk status kami. 12 bulan yang lalu, sewaktu makan siang dikantin kampus – aku masih ingat betul hari jadian itu. Dan seandainya saja aku memiliki mesin waktu, ingin kuputar kembali sejenak kenangan lucu itu.

**
Tepat entah di daerah mana ini, aku pun tak begitu paham – didepan pertamina, tiba-tiba Dicka menghentikan sepeda motornya.
“Kenapa? Kok berhenti?” tanyaku
“Itu mereka..” jawabnya sambil menunjuk ke arah rombongan. Kuikuti jarinya dengan mataku.

Dicka memutarkan sepeda motornya menghampiri mereka. Aku tak berkomentar, karena aku tau kami pasti akan menghampiri mereka. Begitu kami sampai, salah seorang dari mereka langsung mengabarkan berita tak enak yang mengatakan bahwa salah satu sepeda motor teman kami bocor. Kami langsung mencari lokasi tempat penambalan ban. Dan tak jauh dari Pertamina itu, akhirnya kami pun menemukannya

. **
Entah perasaan apa ini, yang jelas sejak siang tadi hatiku derdegup tak karuan. Ada sebuah kerasiaan mungkin. Tapi entah dari siapa. Aku berusaha tenang, dan mengikuti arus ombak yang memaksaku untuk ceria sepanjang satu hari ini minimal, namun tetap saja hatiku galau. Bahkan diatas kereta sepanjang perjalanan pulang pun aku tetap membungkam seribu bahasa. Tak ada kata-kata. Padahal aku adalah orang yang paling akan berkomentar tentang liburan yang kami jalani biasanya, namun tidak untuk kali ini. Diam-diam tanpa sepengetahuan Dicka, kubuka tas ranselku yang didalamnya ada vene – sahabatku. Seharian vene ikut bersama kami menikmati liburan di pantai cermin itu.
“Duh, Vene. Kamu pasti kecape’an ya kan? Sabar ya sayang…” ucapku pada Vene, meski tak sepatah pun terdengar Vene membalas kata-kataku.

Aku menghelus kening Vene yang mungil itu.
Tak lama kemudian Dicka memberi isyarat bahwa kami akan segera melanjutkan perjalanan pulang. Aku cepat-cepat menutup rapat tas ranselku. Dicka menghampiriku, berdiri tepat dibelakang bangkuku. Aku beranjak dari dudukku, dan kami pun berjalan menuju sepeda motor. Dicka naik terlebih dahulu dan mulai menstarter sepeda motornya, baru kemudian aku menyusul naik. Sembari mengibaskan belaian angin yang tak bersahabat lagi, dua ban kereta Dicka terus melaju beringinan, berkejar-kejaran bak Roda waktu.

**
Akhirnya begitu jarum jam jatuh ke angka pukul sembilan malam, kami pun sampai di kost universal. Kost ku. Tanpa aba-aba lagi, akupun langsung turun dan masuk kedalam, Dicka mengikutiku. Ternyata didalam bang Abdi dan Mei sudah menunggu.
“Kok lama kali kalian? “ pertanyaan Mei terlontar begitu kami berada tepat didepan pintu.
“Biasalah …” jawab Dicka sembari tersenyum kearah mereka. Aku juga ikut menjawab pertanyaan sahabatku itu dengan senyuman yang getir – yang mewakili resah dan kegalauan hati kecilku.
“Dek, tolong ambilkan tas ya? Udah malam ini..” ucap Dicka sedikit berbisik ditelingaku sambil merangkul pundakku. Aku mengangguk dan langsung pergi.

Satu persatu anak tangga kulewati. Tiba-tiba aku teringat pada hp Dicka yang masih kukantongi. Aku penasaran ingin membuka inboxnya. Tapi akutak berani. Kuurungkan niatku. Tetapi tepat didepan pintu kamarku, perasaan ingin tahu itu semakin membabi buta menggebu-gebu dibenakku. Dan tanpa berpikir lagi aku langsung menekan keypad nya untuk membuka kunci nya terlebih dahulu. Lagu masuk ke message dan menuju inbox. Satu persatu kubaca, dan tepat disalah satu message air mataku berlinang. Sebuah pesan yang cukup merobek hatiku dari seorang wanita bernama Lenny yang tak pernah ku tau siapa dia. Saat itu aku benar-benar hancur dan sama sekali tak menyangka kalau Dicka tega melakukan itu padaku.
Lalu, untuk memastikan siapa sebenarnya Lenny itu, aku pun membuka send message nya. Dan disaat itu aku benar-banar tak mampu berkata apa-apa lagi selain cucuran air mata yang mewakili pedihnya hatiku. Sejenak aku teringat akan tas laptop Dicka yang masih berada didalam kamarku. Ajku cepat-cepat membuka kunci kamarku dan langsung mengambil tas nya. Saat aku akan keluar, tiba-tiba Mei menelphoneku. Aku mengangkatnya. “Ra, sekalian bawa jacket untuk Dicka ya?” “ya..” jawabku singkat. Dan kemudian keluar dengan sisa-sisa kekecewaan yang masih membekas didua bola mataku. Pelan-pelan kuturuni anak tangga satu persatu dengan sangat hati-hati. Sesampainya dibawah, aku langsung memberikan tas dan jacket kepada Dicka. Saat dia ingin berpamitan pulang, kuraih tangannya seperti biasanya. Kusalami dia dengan mencium telapak tangan selebah kanannya dan menempelkannya sejenak dipipiku yang masih dingin oleh sisa-sisa embun malam. Begitu Dicka keluar dari pintu, aku langsung membalikkan tubuhku dan berjalan menuju kamarku masih dengan perasaan kesal.

**
Seharusnya aku tidak membuka inbox di hpnya tadi agar aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seharusnya ini akan menjadi liburan peling menyenangkan, karena tadi siang ditengah deru ombak pantai yang banyak orang menamainya pantai cermin itu, Dicka bersikap sangat mesra padaku. Dan masih terngiang diujung benakku saat tiba-tiba dia mengangkatku diam-diam, dan aku merangkul pundaknya. Akh… seandainya pun ini fatamorgana, setidaknya aku bangga pernah larut dalam fatamorgana itu. Tapi kenapa Dicka tega mengkhianatiku? Kenapa dia tega mempermainkan perasaanku? Padahal aku mencintai dia – bahkan lebih dari sebuah cinta yang pernah kutitipkan dihati Ridwan. Akh… Masih terasa begitu sesak rasa dijiwaku. Aku tidak ingin menjadi seorang yang lemah hanya untuk cinta. Aku tidak ingin membuang air mataku hanya untuk seseorang yang telah mengkhianatiku. Terlalu banyak luka yang masih membekas didadaku, dan perih itu pun masih sangat menyayatku. Aku tidak ingin luka yang baru akan menambah rasa sakit itu. Tidak!

**
Ingin kupejamkan saja mata ini agar tak lagi kuingat sebait sms yang tadi kulihat diinboxnya. Namun mataku masih tak bias tertutup, bahakan untuk sekedar pura-pura tidur saja pun tak bisa. “ddrrrrrrrrrrrrrreeeeeeeeetttttttt………….” Getar suara hp membuyarkan lamunanku. Kubuka, dan ternyata sebuah pesan singkat dari Dicka yang mengingatkanku untuk jangan tyerlalu larut malam tidur dan banyak minum air putih untuk kelancaran kerja ginjal. Aku tidak ingin membuang pulsa ku hanya untuk orang yang telah menggoreskan luka dihatiku. Bahkan untuk sekali sms pun! Meski gratis. Sekali lagi, pesan baru pun muncul dan aku segera membukanya. Masih dengan nama pengirim yang sama. Aku tak tega jika harus tidak membalas sms itu. Akhirnya kuketik beberapa kalimat dan kukirimkan padanya.
“..ya, Rara udah makan malam dan udah mau tidur. Lenny itu siapa?” Tanyaku masih dengan rasa penasaran. Lama aku menunggu balasan sms nya.
Mungkin saat itu Dicka sedang merangkai kata-kata untuk menjawab sms ku, atau mungkin dia sedang merangkai kebohongan yang lain untuk menipu hatiku. Terserah!

“ehem.., dia jangan beranggapan aneh ya? Tolong. Lenny itu teman baik Dicka (teman 1 genk) disekolah dulu…” akhirnya balasan sms nya pun samapi juga di inbox ku. Kudiamkan saja, tak kubalas. Hambar sudah kepercayaanku untuknya. Hingga akhirnya dia pun mengirimkan pesan untuk yang kedua kalinya. “Lenny itu sailermon, Dicka …kingkong…, kalau kalenk…Dinasaurus. Kan sailermon identik dengan cahaya. Seharusnya Dicka tulis cahaya kami, bukan cahaya Dicka……” jelasnya via sms. “Ya, Rara percaya! Sudahlah.” Balasku tak ingin memperpanjang kisah lagi.

**
Terlalu sering aku sakit hati untuknya – untuk orang yang mungkin tidak pernah mencintaiku, meski seringkali dia mengatakan bahwa dia benar-benar mencintaiku. Entahlah…

**
Cinta adalah gambaran misteri yang terkadang selalu membuat luka dan menanamkan kekecewaan. Seandainya bias kuputar kembali waktu, sungguh! aku masih ingin melewati hari-hari dengan mantan kekasihku. Mantan kekasih yang dulu punya banyak waktu untukku, bahkan disaat dia sibuk sekalipun. Cinta memang tak bis dipaksakan. Kadangkala disaat cinta itu pergi kita baru benar-benar sadar bahwa kita telah kehilangan sesuatu. Yach! Kita hanya akan sadar pernah memiliki disaat kita telah kehilangannya. Begitu juga aku! Dan kuharap, ini bukan hokum karma. Aku tidak ingin mencintai Dicka jika seandainya Cinta itu akan menanamkan luka untukku. Aku tidak ingin melukai hatiku sendiri dan membiarkan korneaku terus-terusan mencurahkan ribuan tetes air mata. Terlalu sering rasanya aku menangis.

**
Cinta. Seandainya rasa itu palsu, kumohon ungkapkanlah.. Agar ku tahu bagaimana cara untuk melupakanmu. Cinta. Jika bukan aku cahaya bagimu Biarkan kuberikan cahayaku untuk dia yang mencintaiku Agar kau pun bias memberikan cahayamu untuk dia yang kau cinta. *end

Senin, 16 November 2009

Kepingan Luka ...

Ini adalah goresan luka hatiku, yg tak sempat kuutarakan, yang tak mampu kuungkapkan dengan kata-kata. terlalu sulit untuk kuceritakan kisah hidup yang melelahkan ini. Terlalu sering rasanya kuteteskan air mata, hingga aku pun jenuh.
perjalanan hidup yg seperti apalagi yang harus kulalui? adakah kerikil yg lebih tajam lagi yang akan mendewasakanku? aku akan menjalaninya sampai detik nadi terakhirku.

Rasa sakit yang kerapkali menyibakkan asaku, seakan tidak pernah kurasakan lagi. yang ada hanyalah harapan-harapan semu sebulum ajal benar-benar merebut nyawaku.
Tuhan...
aku lelah menjalani semua ini. Sesak rasanya didadaku! Tapi aku tau kemana harus mengadu selain pada-MU.

Ingin kujalani sisa umur yg kumiliki bersama Venesia - Boneka mungil yang setia menemaniku, yang selalu menghiburku saat aku terpuruk dalam masalah. Venesia adalah jiwaku - jiwa yang mungkin akan tetap hidup abadi selamanya, meski suatu saat nanti aku harus pergi meninggalkannya.

..........venesia adalah boneka mungil yg diberikan seorang dokter cantik untukku. Venesia lahir dan menjadi bagian dari hidupku sejak 28 september 2008 lalu.

Hanya pada Venesia aku berani bercerita banyak! menuangkan keluh-kesahku. membisikkan rindu ku untuk seseorang yang kini menemani hari-hariku (Sudah setahun lebih). Venesia tau banyak tentang Dicky, kadang dia pun memberi masukan dan ide-ide cemerlang untukku.

Venesia pernah bilang..
Tak ada yang tau pasti kapan kita akan pergi untuk selamanya. dan vene juga berharap, agar aku kuat menjalani semua ini. Dan.. aku telah berjanji akan bertahan untuk Vene. sahabat mungilku.

..........jika nanti ku pergi, kuharap kau bersedia menjaga vene - sama seperti aku menjaganya. sayangi dia - sama seperti kau menyayangiku. meski seringkali aku meragukan cintamu.

entah kenapa, adahal sudah setahun lebih aku menjalani hubungan ini, tapi hatiku seakan masih meragukan semuanya. entah karena ada sesuatu yg sengaja disembunyikannya dariku, atau entah karena aku yang masih terluka oleh masalalu. Tapi jujur, aku mencintaimu. dan belum pernah ada cinta seperti ini dihatiku - sebelumnya.

I will love you, as you love me!