Kamis, 25 Maret 2010

Menangis Dalam Diam

Menangis Dalam Diam

Medan, 23 Maret 2010

Oleh : Erny wirdaningsih

Email : an_tara_kita@yahoo.co.id

Dia selalu ingin dimengerti. Tapi gak pernah ngerti’in orang lain.

Kata-kata itu begitu perih menusuk hatiku. Tak terasa luluh yang lama kusembunyikan akhirnya tumpah juga. Padahal aku sudah berusaha keras agar ia tak lagi tumpah. Tapi percuma! Aku terlalu cengeng.

Bathinku rasanya sesak, dan ingin kusuarakan sesuatu yang selama ini kututup rapat-rapat dinuraniku. Ingin rasanya aku menjerit, namun lidahku keluh. Hanya tetes airmata yang seolah paham betapa hancurnya perasaanku. Aku menangis dalam diam. Tak seorang pun tahu.

Bathinku bergeming, kata-kata dalam sms itu masih terlihat jelas dimayaku. Berulangkali aku membacanya, lalu kutanyakan dalam hati. “Salahkah jika aku cemburu?”. Aku tidak ingin memperlihatkan rasa cembru ini, tapi aku terlalu bodoh untuk menutupinya. Entah aku yang terlalu egois, atau justru dia yang tak pernah paham tentang aku. Aku menemui kata-kata mesra yang ia kirimkan kesalah satu wanita – teman facebooknya, aku mencoba mengklarifikasikannya untuk memastikan siapa sebenarnya wanita itu. Dia menjawab, bahwa hans yang mengirim pesan itu, bukan dia.

Aku sendiri tak tahu apakah aku harus mempercayainya atau tidak. Beberapa waktu lalu aku juga sempat menemui kata-kata mesra di hape nya. Lalu ia menjelaskan, dan aku percaya. Kejadian itu berulang lagi entah yang keberapakalinya.

Akh! Rasanya aku terlalu bodoh untuk tetap membiarkan hatiku berontak, sementara rasa sayang itu masih ada. Aku benar-benar tak mengerti ketololan seperti apa yang kini kualami. Entah keberapakalinya aku kerapkali menangis hanya karena dia. Dia yang mungkin tak pernah mau tahu tentang ku.

**

Alunan musik denting yang dinyanyikan Melly seakan memperparah suasana hatiku. Tapi aku tak mengganti mp3 ku. Aku justru menikmati musik itu. Kuperbesar volumenya, dan akupun ikut larut bernyanyi.

Malam semakin sumbang saat kusadari aku terlalu sering kesepian. Malam semakin kelam saat kusadari mencintainya terlalu rumit, hingga seringkali aku mencoba ingin berlari. Bathinku seringkali bilang bahwa ini bukan cinta, tapi keinginan! Yach, antara cinta dan keinginan memang tak selalu sama. Akupun tak paham betul bagaimana harus membedakannya. Yang jelas kutahu, aku pernah merasakan ada keceriaan saat bersamanya, aku pernah tersenyum lebar saat bersamanya, dan akupun sadar terlalu banyak airmata yang selalu jatuh karenanya.

Kadangkala dicintai akan lebih agung daripada harus mencintai. Yach, saat kita dicintai, akan selalu ada perhatian, kasih sayang dan entah apalagi. Tapi disaat kita mencintai, kita selalu takut kehilangan, hingga sampai rasa takut itu berubah menjadi kecurigaan yang besar – yang kita sendiri tak pernah tahu apakah ini pantas, atau justru tidak!

Kini sayapku patah, teronggok dalam sebuah peti mati. Aku hanya bisa mengepal rindu pada masalalu yang kerapkali kusadari bahwa itu indah. Kini aku selalu berharap kelak malam bawa aku bersama mimpi tentangnya. Tentang masalaluku, bukan cinta yang kini ada bersamaku. Aku sadar aku telah lelah.

**

Matahari masih malu-malu membiaskan cahaya terangnya. Dia menatapku diam-diam disela gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi seakan mencakar langit. Aku duduk disebuah batu besar, ditaman kota. Kuperhatikan tiap jengkal langkah kaki orang-orang yang memanjat tebing tinggi itu. Sejenak kuhela nafas panjang – memecah gelisah yang membungkamku.

‘Dia selalu ingin dimengerti. Tapi gak pernah ngerti’in orang lain’. Kata-kata itu kembali terngiang ditelingaku. Keteguk segelas teh hangat yang baru saja kubeli diwarung depan. Mataku menatap kearah orang-orang yang sedang asyik menggapai point-point di climbing tersebut, tapi pandanganku kosong, entah kemana.

“Kalau mau menangis, menangis saja”. Ucap Dita, teman baruku yang semula menawarkanku ikutan climbing. Aku tersenyum kecut – sangat kecut malahan.

“Aku bosan menangis. Aku ingin tersenyum bersama kalian”. Jawabku. Dita mengacak-acak rambutku manja. Aku tidak menepisnya, melainkan justru menikmati gurauannya.

“Jangan egois! Kalau kamu memang ingin menangis, menangis saja. Jangan membiarkan airmatamu membeku hingga akhrnya menjadi gumpalan-gumpalan dendam yang kelak membara dihatimu. Menangislah jika menangis dapat membuatmu tenang. Toh aku masih bersedia kok meminjamkan bahuku”. Ucap Dita seraya menepuk bahu sebelah kanannya.

“Kamu!” Seuku manja. Kupeluk sahabatku itu. Dia membalasnya lebih erat, seakan mengerti betapa gundahnya hatiku.

“Semua sayang kamu Re. aku dan juga teman-teman yang lainnya semua sayang kamu”. Ucap Dita tanpa melepas pelukannya.

“Terima kasih untuk selalu ada disisiku”. Balasku. Kali ini aku benar-benar tak sanggup lagi untuk membendung airmataku. Ia menetes pelan dan singgah dipipiku. Aku melepas pelukanku pada Dita, lalu saat aku ingin menghapus airmataku yang sempat jatuh, Dita lebih dulu mendaratkan jemarinya dipipiku. Dihapusnya airmataku – lembut.

**

Seminggu berlalu begitu saja. Tanpa ada lagi bait-bait pesan singkat dari Reza yang singgah di inboxku. Aku juga tak sudih jika harus lebih dulu mengirim pesan untuknya. Bagiku apa yang sekarang terjadi antara kami bukanlah seratus persen salahku. Aku hanya menuntut hak ku sebagai seorang pacar. Aku hanya meminta penjelasan padanya tentang seorang wanita yang pernah berpesan-ria dengannya itu, dan kalau akhirnya aku tak percaya dengan alasan yang diberikannya, kurasa aku punya hak untuk tidak mempercayainya. Aku memang tidak ingin marah-marah hanya karena wanita itu, melainkan aku memilih untuk diam. Yach! Sampai semuanya bisa kumengerti. Sampai semuanya bisa kupahami. Tapi sayang, mungkin akan butuh waktu lebih lama lagi dari biasanya.

Hari ini aku kembali menjalani rutinitas perkuliahan seperti biasanya. Saat jarum jam masih lekat diangka pukul setengah Sembilan pagi, dan disaat belum begitu banyak orang yang datang, aku pun duduk dibangkuku sambil mendengarkan siaran radio frekuensi 101,8 fm. Radio motivasi.

Sejak kedatangan sms reza beberapa waktu lalu hatiku memang masih begitu nyeri. Hingga seperti ada trauma jika melihat dia. Aku berusaha menghindar setiapkali waktu hampir saja mempertemukan kami. Entahlah, aku begitu takut melihat dia. Aku takut jika nanti akan ada airmataku yang bakalan tumpah seperti hari-hari kemarin.

Saat kulihat kearah pintu, ada sosok Reza yang berjalan menghampiri ruangan kelas. Aku cepat-cepat beranjak dari dudukku, kemudian tanpa basa-basi aku langsung keluar ruangan. Dia sempat memanggil namaku, tapi aku seolah tak mendengar. Aku duduk didepan reseptionis kampus, disana aku masih tetap mendengarkan siaran radio kesayanganku.

Begitulah kerapkali rasa ketakutan itu muncul dan membelenggu hatiku. Berulangkali dan terus terulang.

**

Aku lelah hingga akhirnya kuputuskan untuk menyerah saja. Lagi pula memaksakan diri untuk tetap ada bersamanya, menjalani status sebagai pacarnya, sementara hatiku keruh dan rasa jenuh itu tak lagi bisa kutepis, sama saja dengan membunuh perasaanku pelan-pelan. Aku memang akan mati, mungkin tak lama lagi, tapi tidak untuk mati hanya karena dia.

Suatu malam, saat dingin menusuk sum-sum tulangku, kutuliskan segores luka hati didiary mungilku. Disana kutuangkan sesuatu yang lama kupendam.

“Diary, aku mengakhiri semua ini karena aku menyayangi dia. Mempertahankan semuanya terlalu rumit bagiku. Apapun yang pernah terjadi antara kami biarlah menjadi masalalu yang mungkin akan segera usang.

Diary, aku lelah dengan semua ini.

Entah karena aku yang terlalu egois, atau karena dia yang tak pernah mengerti tentangku.

Hari ini disisa-sisa kekuatanku, biarkan kusampaikan rindu untuknya. Karena sebenarnya aku pun masih sangat mencintainya.” Ungkapku dalam lembaran warna-warni itu.

*end.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar