Oleh : Erny wirdaningsih
Email : an_tara_kita@yahoo.co.id Setapak jalanan ini masih basah oleh sisa hujan tadi malam. Hawa dingin masih membius tubuh pelan-pelan. Mentari sama sekali belum menampakkan dirinya. Seperti biasanya, aku kembali menapaki jalanan ini dengan memikul keranjang di punggungku. Baru seminggu aku kembali ke kampong halamanku, menikmati rutinitas yang lama kutinggalkan sejak kuliah dulu. Sungguh! Aku rindu dengan suasana seperti ini. Suasana yang membawaku pada tawa dan keceriaan. Aku rindu pada gemercik air yang kerapkali kutapaki sepanjang perjalanan ke kebun teh milik almarhum ayah yang kini menjadi mata pencaharian ibu untuk menghidupi kami. Aku rindu pada aroma teh alami yang kami racik sendiri dengan tangan dan bumbu tradisional.
Mungkin tidak hanya itu yang membuat rinduku menggebu ingin pulang. Yach! Itu hanya sepenggal dari alasan mengapa aku harus pulang, tetapi alasan paling mendasar adalah karena sosok pria bernama Reza yang dulu pernah membuatku jatuh hati, namun kami tidak pernah menjalin hubungan yang orang-orang menamainya pacaran.
**
Empat tahun aku meninggalkan desa ini, meninggalkan sosok pria bernama Reza, meninggalkan segala rutinitas yang dulu kerapkali kulakukan. Dan hari ini aku kembali menjalani rutinitas itu lagi. Terlalu banyak yang telah berubah disini! Banyak sekali malahan.
Jalanan yang dulu kulalui sewaktu akan berangkat ke kebun hanyalah sebatas onggokan tanah yang kerapkali basah dan becek bila hujan mulai sering mengucur bumi. Tetapi sekarang, jalanan ini berubah aspal, hingga walaupun hujan kerapkali curah, kami tidak lagi harus menjinjing celana dan menjinjit-jinjit untuk menghindari becek. Reza juga berubah! Reza yang dulu selalu pergi ke kebun teh denganku – karena kebun kami berdekatan, dia yang dulu selalu menggandengku saat jalanan licin, dan dia yang dulu selalu punya waktu menemaniku bermain gitar saat bulan purnama, kini semua tidak mungkin lagi.
Rezaku telah hilang bersama waktu yang kian merenggang selama beberapa tahun silam. Bukan lagi aku yang merasakan perhatiannya, bukan lagi aku yang kerapkali digandengnya ketika jalanan mulai licin, bukan lagi aku yang selalu pergi ke kebun bersamanya, dan bukan lagi aku yang bernyanyi bersamanya saat purnama, tapi ada wanita lain yang telah mengisi hari-harinya. Wanita yang saat ini menyandang status istri darinya. Dan tidak hanya itu perih yang kutemukan dikampungku, bocah mungil yang kerapkali ditimang Reza lebih menyakitkankan bagiku. Yach! Reza telah menjadi suami dari seorang wanita yang bukan aku, dan dia juga telah menjadi seorang bapak dari seorang bocah mungil yang juga bukan lahir dari rahimku.
Seandainya sesal itu harus ada, aku menyesal tidak pernah mengungkapkan perasaan ini padanya, sedang hatiku sangat menyayanginya.
**
Terlalu perih luka yang kutemukan di desa ini. Terlau sakit rasanya saat melihat Reza – yang rumahnya tepat di depan rumahku itu – bercengkrama dengan anak dan istrinya, sedang kehadiranku kembali ke desa ini hanya untuk menjemput cintaku, untuk Reza.
Tidak ada yang tahu memang tentang perasaan ini, kecuali aku, Tuhaku, dan diary mungilku. Reza pun tak pernah tahu bahwa aku pernah mencintai dia. Mungkin, dia hanya menganggapku sebagai teman terbaiknya – bukan orang yang harus dicintai dia.
Aku terlalu nyeri berada di tempat ini. Aku tak mungkin berlama-lama membiarkan mataku melihat pemandangan yang tak meng-enakkan ini. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kota tempat dimana aku pernah meniti ilmu selama empat tahun terakhir lalu.
**
Malam kian larut, dihuni sepi dan pekatnya gulita. Aku mengemasi barang-barangku. Sesekali luluh tak mampu kubendung, curah bagai butiran bening yang masih hangat. Seandainya aku masih bisa untuk jujur tentang hatiku, aku hanya ingin Reza tahu bahwa aku pernah mencintai dia dan masih mencintai dia, walaupun aku tahu memilikinya sudah tak mungkin lagi.
Hening semakin mencekam mendekap malam. Aku larut dalam nyanyian jangkrik dan melodi detak jam dinding di kamarku. Kubuka album kenanganku. Disana hanya ada foto aku dan Reza. Foto masa kecil, foto sewaktu smp, foto sewaktu smu, dan foto saat kami punya kesempatan untuk selalu bersama. Dulu.
Tangisku beku pada kerongkongan, lekat pada dada, namun tak tersuarakan. Aku menangis dalam diam – agar tak seorang pun tahu tentang perihnya luka di hatiku.
**
Saat matahari masih sepenggal, aku kembali menapaki kebun teh kesayangan ayahku. Aku tahu jam segini Reza pasti berada di kebunnya. Dan benar saja! Dia masih memetik daun-daun teh itu dengan jeli. Aku menghampirinya. Dia menyambutku hangat – sehangat dulu, dan itu yang membuatku semakin luka.
“Rara?” serunya saat melihatku berada di sisinya.
“Heii,,” sapaku – agak canggung.
“Duduk Ra,” Dia mempersilahkanku duduk, dan menghentikan kerjaannya.
“Za, aku mau kembali ke Medan. Aku datang kesini hanya ingin berpamitan” ucapku akhirnya
“Kenapa terlalu cepat Ra?” tanyanya. Ada sebuah Tanya yang lekat di dua matanya. “…padahal aku masih ingin bicara banyak padamu” lanjutnya. Kali ini ada sebuah kerlingan yang lekat pada matanya.
“Reza..” ucapku pelan sambil menundukkan wajah dalam-dalam.
“Ya, ada apa Ra? Katakan sesuatu sebelum kamu pergi lagi. Katakan sesuatu Ra…” Pintanya. Gemuruh bergejolak di dadaku, tapi sulit rasanya mengungkapkan apa yang kurasakan, dan apa yang ingin ku katakan. Reza menarik jemariku, menggenggamnya erat-erat, lalu mendekapnya pada dadanya yang telanjang. Aku tersentak, seraya mengangkat pandangan.
“Aku mencintaimu Ra!” ucap Reza. Aku ternganga bisu. Hiruk-pikuk perasaanku jadinya – tak tentu arah.
“Aa… apa?” tanyaku memastikan apa yang baru saja ku dengar.
“Aku mencintaimu Ra” ulangnya lagi. “Aku tidak ingin kehilanganmu lagi seperti dulu. Aku menunggumu empat tahun, dan menantimu kembali. Dan sekarang kamu telah kembali, lantas kenapa harus pergi lagi?”
Aku sungguh tak mengerti dengan apa yang dikatakan Reza. Kehilanganku? Bukankah aku yang selama ini selalu merasa kehilangan dia? Menungguku? Bukankah aku pula yang menunggu dia diseberang sana. Kenapa harus pergi lagi? Apa dia tidak pernah merasakan betapa sakitnya hatiku saat tahu bahwa orang yang kucintai telah menjadi milik orang lain. Aku cepat-cepat melepas jemariku dalam genggamannya, lalu beranjak dari dudukku. Tapi saat aku membalikkan tubuh dan ingin meninggalkannya, Reza langsung mendaratkan sebuah ciuman di pipiku – hangat!
“Reza!!” teriakku, lalu menampar pipinya semampuku. Tetapi dia tak perduli. Dua tangannya langsung memeluk tubuhku erat-erat.
“Jangan pergi Ra! Aku ingin kamu menemaniku menghabiskan sisa lajangku” ucapnya tanpa melepas dekapannya.
“Jangan ngaco kamu Za! Kalau pun aku juga mencintaimu, aku tidak mungkin menjadi milikmu.” Ucapku – masih dalam dekapannya.
“Kenapa Ra?” tanyanya lagi, kai ini dia melepas pelukannya pelan-pelan. Matanya menatap bola mataku dalam-dalam.
“Karena kamu telah menjadi suami dari wanita lain, dan menjadi ayah dari seorang bocah mungil yang pernah kau timang setiap hari menjelang sore.” Jawabku sambil menundukkan pandangan.
“Lalu, jika aku bukan suami atau ayah dari siapa pun, apakah kau masih mau menjadi istriku?” tanyanya tanpa rasa berdosa. Aku mengangguk pelan.
“Aku pernah mencintaimu saat kita pernah melalui masa sama-sama. Dan sampai hari ini pun aku masih mencintaimu. Aku datang kemari hanya untuk menjemput cintaku – kamu. Tetapi tahu kah kau betapa lukanya hatiku saat tahu bahwa kau telah menjadi milik orang lain?” Tuturku jujur.
“Ra, wanita yang kamu kira istriku itu adalah kakak iparku yang suaminya masih terbaring sakit di salah satu kamar – di rumah itu. Dan bocah yang sering kamu lihat aku menimangnya adalah anak mereka. Sedangkan aku, terus menantimu pulang sejak kau pergi 4 tahun lalu.” Jelasnya.
**
Akhirnya cinta telah temukan jalannya sendiri. Yach! Inilah kekuatan cinta yang seringkali orang memungkirinya. *end.